KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb.,
Segala puji bagi Allah SWT Yang Maha menggenggam alam semesta, Dzat Yang Maha Sempurna yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan anugerah-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktunya. Salawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad saw. Tak lupa kepada para keluarga, sahabat, dan kita selaku umatnya.
Makalah yang dibuat dengan judul Kajian Struktural Drama Malam Pengantin di Bukit Kera Karya Motinggo Busye ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Sastra Indonesia. Makalah ini berisikan materi yang mengkaji sebuah karya drama Malam Pengantin di Bukit Kera dengan teori struktural. Penyusun menyadari bahwa tersusunnya makalah ini atas bantuan dari berbagai pihak baik langsung maupun tidak langsung, izinkanlah penyusun mengucapkan terima kasih kepada pihak yang terkait dalam penyusunan makalah ini.
Tak ada gading yang tak retak, begitu juga dengan penyusunan makalah ini. Penyusun menyadari penulisan makalah ini masih banyak kekurangannya, sehingga penulis berharap kritik dan saran yang sifatnya membangun untuk penulisan berikutnya dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita.
Wassalamu’alikum Wr.Wb.,
Jakarta, 4 Juni 2012
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penulisan
Sejarah Sastra Indonesia periode 1961-1971 merupakan periode yang meneruskan gaya periode sebelumnya, yaitu periode 1945-1961. Hal tersebut dapat terlihat pada struktur estetisnya, yang mempersoalkan masalah kemasyarakatan yang baru dalam suasana kemerdekaan dengan berorientasi pada bahan-bahan sastra dari kebudayaan Indonesia sendiri. Lahirnya periode ini disebabkan oleh adanya protes politik dan sosial dari berbagai kalangan. Hal tersebut pula yang menyebabkan karakteristik karya yang dihasilkan pada periode ini bertemakan politik maupun kehidupan sosial.
Periode ini merupakan momentum menegakkan keadilan dengan kejadian para penyair dan para cendikiawan yang timbul dari suatu ledakan pemberontakan karena sekian lama dijajah jiwanya dan diberikan janji-janji muluk. Periode ini mempunyai nilai-nilai baru dalam kebudayaan daerah agar masuk ke tingkat nasional. Ciri kebudayaan periode ini tidak terlepas dari sebab-sebab timbulnya periode itu sendiri yaitu kebebasan, keadilan, kebenaran, dan keutuhan. Karya-karya yang lahir pada periode ini, salah satunya prosa fiksi dan drama tahun 1960-an menunjukkan ciri-ciri tema tentang perjuangan (berlatar revolusi), kehidupan PSK, sosial, kejiwaan, dan keagamaan.
Malam Pengantin di Bukit Kera (1962) sebuah drama karya Motinggo Busye juga bertemakan kehidupan sosial dan budaya dan keadilan. Keanekaragaman budaya di Indonesia adalah suatu hal yang patut dibanggakan. Namun ternyata, kebanggaan itu berbalik menjadi bumerang. Karena sering kali kita temukan permasalahan-permasalahan terkait dengan perbedaan budaya. Tema drama ini sesuai dengan ciri karya di tahun 1960-an. Drama ini menceritakan keterasingan seorang wanita yang harus beradaptasi dengan kultur suaminya. Motinggo Busye selaku penulis, mengisahkan keanekaragaman budaya dalam naskahnya dengan benteng pemisah yang sangat kuat antara kedua budaya tersebut.
1.2 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memahami naskah drama Malam Pengantin di Bukit Kera karya Motinggo Busye. Pada penulisan ini, akan digunakan kajian struktural untuk memahami naskah drama tersebut.
1.3 Sistematika Penyajian
Makalah ini dibagi menjadi lima bab dan tujuh subbab. Bab satu merupakan bab pendahuluan, yaitu bab pengantar yang terdiri dari tiga subbab yang menjelaskan latar belakang penulisan, tujuan penelitian, dan sistematika penyajian.
Bab dua merupakan sinopsis dari drama Malam Pengantin di Bukit Kera.
Bab tiga merupakan landasan teori yang mengemukakan pengertian teori struktural dan penggunaannya dalam mengkaji sebuah karya sastra.
Bab empat merupakan pembahasan yang mengemukakan hal-hal yang dikaji dalam drama Malam Pengantin di Bukit Kera melalui teori struktural.
Bab terakhir yaitu bab lima sebagai penutup makalah, yang terdiri dari simpulan.
BAB II
SINOPSIS
Maya dan Bujang Tambun merupakan pasangan pengantin baru yang sedang bermalam pengantin di kampung halaman suaminya. Kampung tempat tinggal Bujang biasa dikenal penduduk sekitar dengan nama Kampung Bukit Kera. Karena perbedaan budaya keduanya, Maya sebagai seorang istri harus beradaptasi dengan kultur suaminya sendiri. Maya merasa sangat asing di lingkungan barunya itu, lingkungan yang belum pernah ia tinggali sebelumnya.
Disaat ia sedang mandi di sungai dengan wanita lain, Maya mendengar kabar yang kurang baik. Kabar tersebut mengatakan bahwa Rabimalam, nenek suaminya mengalami kejiwaan atau gila. Kabar tersebut membayang pikirannya sesampai di rumah. Ia menanyakan hal tersebut pada suaminya, apakah isu tersebut benar atau tidak. Tapi suaminya membantah hal itu semua, Bujang mengatakan hal itu hanyalah sebuah gunjingan. Perkataan suaminya, tak membuat Maya percaya begitu saja. Apalagi setelah ia dapat membuktikan dengan mata kepalanya sendiri bahwa nenek Rabimalam memang dirasanya gila. Karena masalah itu, membuat Maya dengan Bujang bertengkar, hingga Maya tidak tahan dan ingin secepatnya meninggalkan rumah nenek suaminya itu.
Pertengkaran tersebut pun diketahui nenek Rabimalam. Ia pun mengetahui bahwa Maya, mantu cucunya itu percaya pada perkataan orang lain bahwa Ia gila. Hingga pada malam itu terjadi sebuah peristiwa yang membuat Maya mengerti bahwa sebenarnya nenek Rabimalam tidaklah gila. Rabimalam hanya masih terbayang oleh suaminya yang terbunuh oleh sahabat baiknya, Mas Roi. Dan Rabimalam ingin membalaskan dendamnya itu dengan membunuh Mas Roi. Sampai akhirnya ia bisa mencapai niatnya itu di usia senja.
BAB III
LANDASAN TEORI
3.4 Pengertian Teori Struktural
Teori struktural dalam sastra adalah pengertian suatu karya, baik prosa, puisi maupun drama, berdasarkan strukturnya; dalam drama ini termasuk alur cerita, latar, penokohan dan tema. Penokohan adalah perkembangan tokoh-tokoh dalam cerita. Ada tiga jenis tokoh, yaitu protagonis (pelaku/pendorong cerita), antagonis (penghambat protagonis), dan tritagonis (pembantu protagonis dan atau antagonis). Hubungan diantara para tokoh dapat menyebabkan dan menyelesaikan konflik.
Alur cerita (plot) adalah apa yang terjadi dalam cerita. Alur ini dibagi dalam lima bagian, yakni perkenalan, penimbulan konflik, perkembangan konflik, klimaks dan penyelesaian. Walau secara klasik kelima bagian itu terurut sama seperti di atas, ada pula karya non-konvensional yang menggunakan urutan yang beda melalui flashback untuk mengembangkan cerita.
Latar ada tiga jenis, yaitu latar tempat, latar waktu, dan latar sosio-budaya. Latar tempat adalah ruang lingkup di mana cerita terjadi, baik secara sempit (misalnya ruang tamu) maupun luas (misalnya Daerah Istimewa Yogyakarta). Latar waktu adalah kurung waktu ketika cerita terjadi, baik secara sempit (misalnya jam tiga pagi) maupun luas (misalnya tahun 1965). Latar sosio-budaya adalah keseluruhan adat dan kebudayaan di tempat dan waktu di mana cerita terjadi.
Tema adalah hal-hal dasar yang dibahas dalam sebuah karya secara umum. Dalam naskah drama Malam Pengantin di Bukit Kera yang merupakan perjuangan universal atau menyeluruh. Ada tema klasik, di antara lain: yang baik mengalahkan yang jahat, dan yang lebih jarang digunakan seperti yang jahat mengalahkan yang baik.
Amanat merupakan pesan yang terkandung dalam drama Malam Pengantin di Bukit Kera.
Pada karya Malam Pengantin di Bukit Kera, akan dikaji melalui teori struktural dan dalam mengkaji karya drama ini yaitu berdasarkan naskah drama yang didapat, yang terdiri dari 10 halaman.
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Kajian Struktural Drama Malam Pengantin di Bukit Kera
A. Tokoh dan Penokohan
1) Rabimalam
Rabimalam adalah istri dari Raja Dukungan Tambun dan nenek dari Bujang Tambun; Ia penduduk asli Bukit Kera. Secara fisik Ia tua, namun giginya masih utuh:
Istri: ... Dan kupuji-puji giginya yang masih utuh, beliau mengatakan itu karena beliau sering berkumur-kumur dengan air garam sebelum tidur. ... (halaman 2)
Rabimalam juga terlihat sebagai perempuan kuat dan pemberani:
Istri: ... Nenek mengatakan dengan bangga, bahwa mereka keturunan petani-petani yang kuat, yang pantang menyerah dengan raksasa-raksasa alam. ... Nenek kita itu bangga bahwa mereka yang perempuan tampak agak kasar tangannya sebab mencangkul atau dengan malu dikatakannya bahwa perempuan disini tidak begitu cantik karena dibakar matahari saban hari. ... (halaman 2)
Cucu: Perempuan-perempuan disini tak ada yang takut. Apalagi nenek kami ini, salah seorang perempuan yang dikenal disini karena keberaniannya. (halaman 1)
Dilihat dari segi psikologis, batin Rabimalam sangatlah rumit. Di suatu ketika, Rabimalam dapat bersikap aneh sehingga dianggap gila oleh penduduk sekitar. Dia juga berjudi dan menembak-nembak atau memburu sesuatu di malam hari:
Istri: Apa yang telah nenek matikan?
Nenek: Ular! Seekor ular sawah. Kaget benar aku. Aku telah dengar ular itu berjanji dibalik pohon perdu, tapi hatiku berdetak, tentu ular itu takkan menerkam perempuan tua bangka macam aku ini. Tapi dasar ular lelaki barang kali, maka dengan gatal dia menjalar mau memelukku . . . . . Heh, kalian belum tidur? (halaman 3)
Ia juga suka memikirkan dan berkata tentang seks:
Nenek: Sekarang aku tahu, istrimu sedang mengidam. Itu makanya ia ingin berkelahi saja dengan kau, bahkan dengan aku. Gembiralah kau, cucuku, gembiralah. Kau akan menjadi bapak tak lama lagi . . . .
Dan Ia juga sangat membenci hal-hal yang berhubungan dengan negara eropa seperti Inggris atau Belanda, hal itu terlihat saat Maya berbicara dengan menggunakan bahasa Inggris, namun meskipun begitu Ia juga memiliki kepribadian pemaaf:
Istri: Sudah. Tell your grendma, don’t make me afraid, Bujang.
Nenek: Apa yang dikatakannya dalam bahasa Belanda itu bujang?
Cucu: Dia bukan berbahasa Belanda, tapi bahasa Inggris.
Nenek: Kenapa harus bahasa Inggris? Aku benci Inggris. Aku pernah melihat benteng tua Reples waktu merantau ke bengkulu dulu, dan mereka menjajah kita, kenapa harus berbahasa Inggris?
Cucu: Dia masih mengigau.
Nenek: Tapi aku tersinggung.
Istri: Ya, maaf Nek, maya tadi mengigau.
Nenek: Tapi aku tersinggung.
Istri: Maaf Nek.
Nenek: Ya, ya, telah kurelakan memaafkan ... (halaman 3)
Selain itu, Rabimalam memiliki sisi religius dan hati rohani yang tinggi, salah satu pertanyaannya adalah ketika Ia bertanya pada Maya apakah Maya pandai membaca kalimat syahadat :
Nenek: Kau pandai membaca kalimat syahadat? Ashadua alla illahaillah__ waashadu anna Muhammadarasulullah? (halaman 5)
Juga ketika Maya mengakui bahwa Ia takut kepada Rabimalam, Rabimalam berusaha membuat Maya tenang dan nyaman di rumah:
Nenek: Maya demi Allah, jangan takut di rumah ini. Aku bukan hantu! Aku bukan perempuan gila!
Istri: (Maya terkejut)
Nenek: kau terkejut?
Istri: Ya
Nenek: He, he! Apa kesalahanku Maya mantu cucuku? Mukaku memang sudah berkerut, tapi gigiku masih ada! Aku memang orang tua aneh, tapi dimana-mana di dunia ini, semua orang tua berkelakuan aneh. Itu biasa Maya. Tidak ada orang tua yang tidak aneh, carilah olehmu dimana-mana. Tapi itu bukan berarti gila. Aku tidak gila. ... (halaman 5)
Rabimalam juga sangat mencintai mantan suaminya, meskipun sudah bercerai tapi Ia tetap cinta. Sehingga Ia mampu membalas dendam atas pembunuhan terhadap mantan suaminya tersebut.
2) Bujang Tambun
Bujang Tambun adalah suami baru Maya, cucu dari Rabimalan dan Raja Dukungan Tambun. Secara fisik, Ia mirip dengan kakeknya:
Nenek: Tidak. Aku Cuma melihat mukamu. Kau seperti kakekmu benar, ketika kami kawin dulu. ... (halaman 1)
Bujang Tambun sangat mementingkan nama baik keluarganya dan setiap kata yang dianggap tidak baik ditentang dengan keras:
Cucu: Si Rabimalam, dengan pakai si di depan nama nenekku kata mereka? Bah . . . Sungguh biadap setan-setan betina itu. Siapa setan betina yang mengatakannya, kau kenal orangnya? (halaman 1)
Dia juga kasar dengan istrinya dan dari awal hubungan mereka telah berkali-kali berdusta. Namun, akhirnya dia bisa mengakui bahwa dia yang salah dan berusaha untuk perbaiki hubungannya dengan Maya:
Cucu: Memang yang sekali ini aku berdusta. Tapi aku tak berdusta tentang kehebatannya yang melebihi ejekanmu seperti pilem koboi soalnya laki-laki kami di sini menghormati kebanggaan hargadirinya ... (halaman 3)
3) Maya
Maya adalah istri baru Bujang Tambun. Secara fisik tidak disebutkan. Namun dari segi kepribadian, Maya adalah seorang gadis kota yang berpendidikan dan berani menentang suaminya ketika Ia merasa bahwa dirinya benar:
Istri: Kau pikir aku anak kecil? Nonsens semua! Aku telah bertahun-tahun belajar ilmu exact, ilmu alam, ilmu gaya berat dan mete-metika, kenapa aku akan takut pada hantu? Alangkah bodohnya aku selama ini, membohongi pikiranku dengan hantu, seperti dalam film drakula yang nihil semuanya . . . . . pergilah tidur! (halaman 7)
Namun terkadang Maya bersifat kekanak-kanakan; ketika dia harus menghadapi Rabimalam, Ia mengakui bahwa dirinya takut.
4) Raja Dukungan Tambun
Raja Dukungan Tambun adalah mantan suami Rabimalan dan kakek Bujang Tambun. Dia seorang penjudi yang amat dicintai Rabimalan tetapi akhirnya lebih memilih berjudi daripada bersama istrinya. Sudah meninggal pada awal cerita,menurut Rabimalan Ia meninggal karena diracuni Masroi.
5) Masroi
Masroi adalah teman berjudi Raja Dukungan Tambun dari Bukit Kera. Menurut tokoh lain, dia tampan tetapi brengsek :
Nenek: Tak tahu malu kau. Aku punya suami. Kau tak bisa menghargai rumah orang. Kau memang tampan, tapi dibalik rautmu itu ada yang jelatang.
Masroi juga dituduh bahwa Ia yang membunuh Raja Dukungan Tambun dan Ia akhirnya dibunuh oleh Rabimalan pada tahap klimaks.
B. Alur
Malam Pengantin di Bukit Kera memiliki alur lurus atau maju. Perkenalan terdapat pada lima halaman pertama. Disini dikenalkan Bukit Kera, Rabimalam, Bujang Tambun, dan Maya. Diperkenalkan pula latar cerita, yaitu sepasang suami istri yang baru menikah dan sedang bermalam pengantin atau berbulan madu di kampung halaman suami.
Pada halaman pertama pula telah dimunculkan penimbulan konflik, yaitu keanehan sikap Rabimalam, nenek Bujang Tambun yang membuat Maya, istri Bujang Tambun merasa bahwa Rabimalam gila:
Istri: Aku sudah tandai dalam beberapa hari ini beliau keluar pada jam-jam begini. Tidak takutkah dia?
Adapula konflik sekunder yang dimunculkan, yaitu perbedaan pendapat antara Bujang dengan Maya:
Cucu: ... Kenapa kau diam saja seperti orang yang kena sihir, Maya?
Istri: aku memang seperti kena sihir. Mereka mengatakan bahwa nenek kita Rabimalam telah gila . . .
Cucu: Gila! Nenekku Rabimalam gila, kata mereka? Siapa, siapa yang telah menagatakan kepadamu?
Istri: Waktu aku sore mandi di tanggul. Kau kan tahu, aku kurang paham bahasa orang desa sini, tapi dari kau aku belajar sedikit-sedikit bukan. Dan, dan mereka katakan bahwa si Rabimalam__ya, begitu kata mereka_gila!
Cucu: Si Rabimalam, dengan pakai si di depan nama nenekku kata mereka? Bah . . . Sungguh biadab setan-setan betina itu. Siapa setan betina yang mengatakannya, kau kenal orangnya?
Istri bujang terdiam dan menjadi gelisah.
Cucu: Katakan saja Maya!
Istri: Ya, aku akan katakan Kak Bujang, akan kukatakan. Tapi kau jangan marah. Aku khawatir timbul temperamenmu seperti dalam film-film koboi, kau ajak pula mereka berkelahi.
Peningkatan konflik terjadi pada halaman 6 sampai 8. Pertengkaran Bujang dengan Maya semakin heboh karena perbedaan pendapat yang semakin sulit disatukan:
Istri: Kau tidak mendengar, karena kau tadi tidur mendengkur. Akulah yang mendengarnya. Dia bercakap-cakap sendirian di rumah ini, memuji suaminya seperti seorang perempuan budak memuji raja Romawi . . . . . dan dia memegang senjata.
Cucu: Senjata itu takkan diletuskan ke jidatmu, tahu! Kau keras kepala seperti dia.
Istri: Tidak! Aku bukan dia. Kalu sekali waktu kau mati, aku tidak akan menangis sedih seperti dia, tetapi mencari akal bagaimana supaya aku bisa tentram.
Cucu: Marilah kita tidur Maya. Kita datang kesini bukan untuk berkelahi, tetapi untuk berbulan madu. Kita tinggal dua malam lagi disini, marilah kita isi dengan madu.
Istri: Nenekmu pengacau. Madu kita tertumpah, dimakan hantu-hantu di rumah ini.
Sementara alasan mengapa Rabimalam mulai dikatakan gila dikemukakan bahwa Ia sering berbicara sendiri dan berhalusinasi bahwa arwah suaminya masih ada yang dengan tiba-tiba menghampiri dirinya, serta dikemukakan pula bahwa Raja, mantan suami Rabimalam mati karena dibunuh oleh teman judinya, Masroi, dan Rabimalam hanya dapat memikirkan balas dendam.
Nenek: Aku bermimpi! Tidak, tidak aku yakin arwah suamiku masih ada di ruangan ini . . . . . Itulah akhirnya kesudahan dari hidup enak cerai. Ia lebih percaya pada sahabatnyadaripada kepada istrinya. Itulah mulainya malapetaka orang laki bini. Kami telah sama-sama tua diceraikan oleh kartu-kartu ini . . . . . (mengobrak-abrik kartu di meja, kemudian berdiri, dan mengumpulkan lagi kartu-kartu itu) tidak, tidak, aku tak benci pada suamiku. Aku benci pada kelakuannya. Sudah aku benar-benar merasa sunyi seperti sekarang ini. Ia berdiam di rumah si Masroi. Kafir murtat itu dan kudatangi dia, si Raja suamiku, hanya akan melihatnya. Akhirnya aku maik kartu, benar-benar jadi tukang judi, benar-benar jadi penjudi perempuan di bukit ini. Hanya sebagai cara untuk bertemu muka dengan si Raja ku. Tapi si Raja berhati pekat! Ia tak mau rujuk! Sampai akhirnya ia diberi minum racun oleh sahabatnya sendiri di tengah padang. Ia mati, terbunuh oleh sahabatnya sendiri dengan semangkok racun! Ooh, betapa khianatnya manusia, betapa khianat dan busuknya persahabatn dan itulah! Itulah nasib suami yang tak percaya pada omongan istri. (kemudian melangkah pergi, berdiri di depan pintu) Ya, ya kira-kira disirulah Rajaku dibunuhnya! Ya, di padang itu tempat anak-anak menggembalakan kambing-kambingnya di siang hari. Tempat cucu-cucuku melihat kijang kehausan di siang hari, tempat aku dulu pertama kali berjumpa dengan si raja ketika aku masih perawan. Dan dia berkata padaku: “Rabimalam, marilah kubawakan lodong airmu!”__tetapi aku pura-pura tidak mau. Ia berkata lagi: “Terlalu berat lodong airmu dibahu kau, nanti kau bungkuk ketika kulamar”__di tempat itu kurasa bumi berguncang dan lodong air itu masih kusimpan sampai dengan sekarang. Oh, Rajaku, kenapa tidak kau minta rujuk kepadaku, sehingga kau lebih percaya kepada sahabatmu dari pada kepada aku yang membikinkan kau kopi saban pagi, dan mengurut kakimu kalau kau mau tidur, mengerok punggungmu dengan uang kelit, tetapi kau lebih percaya dengan anak kafir turunan setan itu, jelatang kampung yang tak mau mati itu! Aku akan balas dendam!
Pada halaman 9, Rabimalam menembak Masroi di luar panggung dan alasan mengapa dia begitu ingin sekali membunuh Masroi selain karena alasan Masroi telah membunuh suaminya. Ini merupakan tahap klimaks:
(kemudian terdengar suara letusan senapan, Maya mendekap suaminya)
Cucu: Jangan cemas. Dua ekor kera telah dihabisinya. Besok pagi datang pembeli tepat menjelang fajar. Ini hanya letusan rutin saja.
Istri: Ah, tidak mungkin, aku sudah biasa. Aku medengar suara orang melolong waktu tembakan itu berbunyi pertamakali.
Cucu: Apa betul?
Istri: Betul.
Cucu: Aku juga ada mendengar suara lolongan itu. Tetapi di bukit ini gema apapun bunyinya sama.
Istri: Ayo kita lihat kesana. Jangan-jangan nenekmu . . . . . . . . . .
Cucu: . . . . . . . . . yang jadi sasaran tembakkan kedua tadi.
Istri: (mengangguk)
Cucu: Tidak mungkin, aku kenal betul dengan bedil kakek itu. Di Bukit Kera sini hanya ada
satu bedil model langsa begitu. Dua letusan tadi sama bunyinya.
Istri: Kalau begitu, alangkah beraninya Ia
Cucu: Nenekku sungguh berhati pekat. Aku sudah sejak lama melihat perangi beliau, mengintai lelaki untuk membalas dendam kusumatnya.
Istri: Kak Bujang, aku bukan saja mengatakan ia berani juga gila! Dia betul-brtul gila.
Nenek: (muncul tiba-tiba) Aku tidak gila. (kemudian berjalan menuju meja)
Istri: Maafkan saya Nek.
Nenek: Aku tidak gila. Siapa bilang perbuatan gila kalau aku tahu benar aku harus membinasakan kejahatan? Aku bukan saja menembaknya karena dia telah kurang ajar kepadaku, aku yang begini tua, masih juga dirangkulnya dua hari yang lalu. Katanya dia telah memedam rasa, berpuluh tahun ingin merangkulku! Kalau waktu itu aku membawa arit, telah kubasahi perutnya. Lelaki tidak tahu malu, tua-tua keladi makin tua makin gatal. Kau perempuan muda, cucu mantuku yang menuduhku gila, apakah kau bisa menerima orang seperti Masroi itu, mengganggu gadis-gadis yang pulang mandi? Apakah peradapan telah lenyap? Apakah kita harus melupakan Tuhan sekarang? Kurasa tidak, itumakanya kubunuh dia. Kalau kau menuduhku gila, kalian sama saja dengan Masroi dalam menghargai kehormatan. Sekarang aku telah puas. (suara semakin pelan) Rajaku Dukungan Tambun, sayangku, gunungku, sungaiku, bukitku, . . . . . aku telah menuntut bela atas kematianmu . . . . . . (kemudian tiba-tiba berdiri) Bujang tambun! Kau angkat ke sini mayat jahanam itu, supaya istrimu tahu bahwa aku tidak gila sama sekali.
Pada halaman terakhir terjadilah penyelesaian masalah. Disini Bujang Tambun dan Maya mampu menyelesaikan masalah mereka dan mereka sadar bahwa nenek Rabimalam telah terbuai karena dendamnya:
Istri: Maafkan saya Nek, (sambil memeluk) maafkan saya . . . . . . . . .
Nenek: Betapa baiknya jika kau datang ke kampung kami tanpa prasangka Maya. Dan kau memeluk nenekmu seperti sekarang ini. Kau tahu, cucuku, dunia ini senantiasa akan semakin runtuh karena curiga sesamanya, seperti kau pertama kali datang dahulu. Tetapi aku telah memaafkan Maya.
(kemudian muncul Bujang Tambun membawa mayatnya Masroi)
Nenek: Itulah dia. Aku tidak bangga dengan kejadian ini, Maya, karena biasanya peluru-peluru kutembakkan pada kera-kera dibukit ini. Besok kita sama-sama menguburkan dia, oh, dia begitu tampan tetapi terlalu sial. Salahkan aku Maya?
Istri : (diam saja)
Nenek: Salahkah aku Maya. (kemudian mendekap Maya dan ketika dilepaskannya Maya menggelengkan kepala) Tidurlah. Nikmatilah malam-malam yang tinggal ini sebelum kalian pulang.
C. Latar
Secara luas cerita ini terjadi di Bukit Kera, suatu desa yang terkenal untuk kera-keranya yang dulunya banyak sekali, tetapi kini sudah lenyap, karena dijual kepada orang Tionghoa untuk membuat obat kuat:
Nenek: Memang di sini juga tak ada minyak cap mecan. Sudah lebih dari sepuluh tahun aku tidak berjumpa dengan obat minyak cap macan. Berkali-kali ku pesankan pada cina-cina yang membeli kera di sini, kupesankan supaya mereka membawa minyak cap macan tapi mereka cuma membawa karung, untuk membawa kera. ... (halaman 5)
Secara sempit, drama ini terjadi di ruang tamu rumah Nenek Rabimalam. Tokoh-tokoh keluar masuk ruang itu saja; ruangan lain tidak diperlihatkan. Latar waktu yang luas dalam cerita ini tidaklah jelas. Hanya diberi tahu latar waktu yang sempit, yaitu pada dua malam terakhir malam pengantin Bujang Tambun dan Maya.
Cucu: (berjalan mendekat) Marilah kita tidur Maya. Kita datang kesini bukan untuk berkelahi, tetapi untuk berbulan madu. Kita tinggal dua malam lagi disini, marilah kita isi dengan madu. (halaman 6)
Latar sosial-budaya adalah budaya di desa Bukit Kera. Apabila dinilai dari tokoh-tokoh yang berasal dari daerah itu (Rabimalam, Bujang Tambun, Raja Dukungan Tambun, dan Masroi), orang-orang di daerah tersebut terlihat keras dan kasar:
Nenek: ... Bujang Tambun! Kau angkat kesini mayat jahanam itu, supaya istrimu tahu, bahwa aku tidak gila sama sekali. (halaman 9)
Di Bukit Kera kehormatan keluarga dinilai di atas segala-galanya:
Cucu: Si Rabimalan, dengan pakai si di depan nama nenekku, kata mereka? Sungguh biadab setan-setan betina itu. Siapa setan betina yang mengatakannya, kau kenal orangnya?(halaman 1)
Selain itu, orang di Bukit Kera suka bergosip mengenai orang lain, khususnya yang dianggap berperilaku aneh:
Istri: Waktu aku sore tadi mandi di tanggul. ... Dan... dan... merekakatakan, Si Rabimalan__ya, begitulah kata mereka__gila! (halaman 1)
D. Tema
Malam Pengantin di Bukit Kera memiliki beberapa tema yang yang dapat dipetik, yaitu ada tiga tema utama yang terwujud dalam drama ini. Ketiga tema itu ialah balas dendam, cinta mati, dan mengatasi perbedaan. Ide pokok alur cerita ini ialah rencana Rabimalam untuk membalas dendam pembunuhan mantan suaminya; dia akhirnya berhasil. Dalam naskah drama ini, balas dendam digambarkan sebagai sesuatu yang bisa membawa kehancuran kepada penyimpannya; nenek Rabimalan sudah ditinggal orang-orang Bukit Kera lain karena dianggap gila.
Tema kedua ialah cinta mati. Ini terwujud dalam Rabimalam, yang walaupun ditinggal pergi oleh suaminya masih terbayang-bayang dan mencintainya sampai mampu melanggar prinsipnya dan membunuh Masroi. Bujang Tambun dan Maya merupakan cinta yang belum cukup kuat untuk dibawa sampai mati; mereka baru menikah dan sudah sering bertengkar. Dengan demikian, cinta mati digambarkan sebagai sesuatu yang hanya terdapat setelah lama bersama orang lain.
Tema terakhir adalah mengatasi perbedaan. Bujang Tambun dan Maya adalah contoh yang paling jelas. Bujang Tambun dan Maya pada awal cerita mempunyai sudut pandang yang jauh berbeda dan akibatnya sering bertengkar. Namun, setelah pendapat mereka menjadi satu setelah menyaksikan pembunuhan Masroi mereka dapat saling memahami dan akan berusaha tetap menjaga hubungan mereka.
E. Amanat
Dalam menjalankan proses adaptasi, seseorang haruslah cerdas dalam bersosialisasi dengan lingkungan barunya. Agar tidak mudah terpengaruh perkataan orang lain yang belum ada buktinya, dan tidak terjerumus kepada hal-hal yang tidak diinginkan, hal ini merupakan salah satu amanat dari drama ini. Selain itu, janganlah dendam. Karena dendam, apalagi dendam yang sudah dipendam terlalu lama, akan menyiksa diri kita sendiri.
Dari unsur ekstrinsik drama Malam Pengantin di Bukit Kera, dapat dilihat dari segi sosiologis sastra, yaitu nilai sosial budaya yang terkandung di dalamnya. Drama ini mengkisahkan tentang keanekaragaman budaya yang sulit disatukan, antara budaya yang satu dengan budaya yang lainnya. Keterasingan wanita yang hidup di budaya kota dan harus beradaptasi di lingkungan baru di kampung halaman suaminya. Lingkungan baru itu sangatlah membuat wanita kota ini tidak betah berlama-lama di kampung yang menurutnya sangat aneh dan menakutkan. Hal ini dapat dilihat dari orang-orang yang ada di kampung itu berwatakan keras dan kasar, seperti pada kata-kata kasar yang sering dilontarkan Bujang Tambun terhadap Maya, istrinya. Lalu kebiasaan Rabimalam, yang suka menembak kera-kera di hutan pada malam hari, juga menjadi budaya yang aneh di kampung Bukit Kera itu. Wanita-wanita di kampung ini pun digambarkan wanita yang pemberani dan perkasa. Meski terlihat tua, tetapi gigi mereka masih utuh. Rabimalam pun salah satu wanita pemberani di kampung ini. Kebiasaan bergosip di kampung ini pun menjadi kebiasaan sehari-hari, apalagi yang dilihat mereka ada sesuatu yang aneh di kampungnya.
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Malam Pengantin di Bukit Kera merupakan salah satu karya drama tahun 1962 yang ditulis oleh Motinggo Busye. Meskipun ceritanya singkat, namun drama ini memiliki nilai artistik yang tinggi, yaitu mengungkapkan perbedaan budaya yang sulit disatukan. Temanya bersifat universal atau umum, dan tokoh-tokohnya pun memiliki karakter yang menarik. Mulai dari Rabimalam, seorang nenek yang disangka gila oleh penduduk sekitar, Bujang Tambun yang keras, suka berdusta namun penyayang serta memiliki harga diri yang tinggi, Maya yang penakut akan budaya yang asing bagi dirinya, Raja Dukungan Tambun, dan Masroi merupakan sosok yang melatarbelakangi konflik pada drama ini. Jalan cerita dalam drama ini pun cukup menarik, dan sulit ditebak bagi mereka yang menonton pertunjukannya.
Drama ini selain menjujung tinggi nilai budaya, juga menegakan keadilan, meskipun dengan cara yang salah. Oleh karena itu amanat yang terkandung dalam cerita ini adalah janganlah kamu memiliki sifat pendedam yang berlarut-larut, karena itu akan membuat diri semakin tersiksa.
DAFTAR PUSTAKA
Busye, Motinggo. Malam Pengantin di Bukit Kera (1962). Diketik ulang pada tahun 2007 oleh CARESA SMAN 1 Mejayan
Erowati, Rosida, dkk. Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2011
Widjojoko, dkk. Teori dan Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: UPI PRESS. 2006
http://www.scribd.com/doc/38352887/Analisis-Malam-Pengantin-Di-Bukit-Kera
Assalamu’alaikum Wr.Wb.,
Segala puji bagi Allah SWT Yang Maha menggenggam alam semesta, Dzat Yang Maha Sempurna yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan anugerah-Nya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktunya. Salawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Nabi Muhammad saw. Tak lupa kepada para keluarga, sahabat, dan kita selaku umatnya.
Makalah yang dibuat dengan judul Kajian Struktural Drama Malam Pengantin di Bukit Kera Karya Motinggo Busye ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Sastra Indonesia. Makalah ini berisikan materi yang mengkaji sebuah karya drama Malam Pengantin di Bukit Kera dengan teori struktural. Penyusun menyadari bahwa tersusunnya makalah ini atas bantuan dari berbagai pihak baik langsung maupun tidak langsung, izinkanlah penyusun mengucapkan terima kasih kepada pihak yang terkait dalam penyusunan makalah ini.
Tak ada gading yang tak retak, begitu juga dengan penyusunan makalah ini. Penyusun menyadari penulisan makalah ini masih banyak kekurangannya, sehingga penulis berharap kritik dan saran yang sifatnya membangun untuk penulisan berikutnya dan semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita.
Wassalamu’alikum Wr.Wb.,
Jakarta, 4 Juni 2012
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Penulisan
Sejarah Sastra Indonesia periode 1961-1971 merupakan periode yang meneruskan gaya periode sebelumnya, yaitu periode 1945-1961. Hal tersebut dapat terlihat pada struktur estetisnya, yang mempersoalkan masalah kemasyarakatan yang baru dalam suasana kemerdekaan dengan berorientasi pada bahan-bahan sastra dari kebudayaan Indonesia sendiri. Lahirnya periode ini disebabkan oleh adanya protes politik dan sosial dari berbagai kalangan. Hal tersebut pula yang menyebabkan karakteristik karya yang dihasilkan pada periode ini bertemakan politik maupun kehidupan sosial.
Periode ini merupakan momentum menegakkan keadilan dengan kejadian para penyair dan para cendikiawan yang timbul dari suatu ledakan pemberontakan karena sekian lama dijajah jiwanya dan diberikan janji-janji muluk. Periode ini mempunyai nilai-nilai baru dalam kebudayaan daerah agar masuk ke tingkat nasional. Ciri kebudayaan periode ini tidak terlepas dari sebab-sebab timbulnya periode itu sendiri yaitu kebebasan, keadilan, kebenaran, dan keutuhan. Karya-karya yang lahir pada periode ini, salah satunya prosa fiksi dan drama tahun 1960-an menunjukkan ciri-ciri tema tentang perjuangan (berlatar revolusi), kehidupan PSK, sosial, kejiwaan, dan keagamaan.
Malam Pengantin di Bukit Kera (1962) sebuah drama karya Motinggo Busye juga bertemakan kehidupan sosial dan budaya dan keadilan. Keanekaragaman budaya di Indonesia adalah suatu hal yang patut dibanggakan. Namun ternyata, kebanggaan itu berbalik menjadi bumerang. Karena sering kali kita temukan permasalahan-permasalahan terkait dengan perbedaan budaya. Tema drama ini sesuai dengan ciri karya di tahun 1960-an. Drama ini menceritakan keterasingan seorang wanita yang harus beradaptasi dengan kultur suaminya. Motinggo Busye selaku penulis, mengisahkan keanekaragaman budaya dalam naskahnya dengan benteng pemisah yang sangat kuat antara kedua budaya tersebut.
1.2 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memahami naskah drama Malam Pengantin di Bukit Kera karya Motinggo Busye. Pada penulisan ini, akan digunakan kajian struktural untuk memahami naskah drama tersebut.
1.3 Sistematika Penyajian
Makalah ini dibagi menjadi lima bab dan tujuh subbab. Bab satu merupakan bab pendahuluan, yaitu bab pengantar yang terdiri dari tiga subbab yang menjelaskan latar belakang penulisan, tujuan penelitian, dan sistematika penyajian.
Bab dua merupakan sinopsis dari drama Malam Pengantin di Bukit Kera.
Bab tiga merupakan landasan teori yang mengemukakan pengertian teori struktural dan penggunaannya dalam mengkaji sebuah karya sastra.
Bab empat merupakan pembahasan yang mengemukakan hal-hal yang dikaji dalam drama Malam Pengantin di Bukit Kera melalui teori struktural.
Bab terakhir yaitu bab lima sebagai penutup makalah, yang terdiri dari simpulan.
BAB II
SINOPSIS
Maya dan Bujang Tambun merupakan pasangan pengantin baru yang sedang bermalam pengantin di kampung halaman suaminya. Kampung tempat tinggal Bujang biasa dikenal penduduk sekitar dengan nama Kampung Bukit Kera. Karena perbedaan budaya keduanya, Maya sebagai seorang istri harus beradaptasi dengan kultur suaminya sendiri. Maya merasa sangat asing di lingkungan barunya itu, lingkungan yang belum pernah ia tinggali sebelumnya.
Disaat ia sedang mandi di sungai dengan wanita lain, Maya mendengar kabar yang kurang baik. Kabar tersebut mengatakan bahwa Rabimalam, nenek suaminya mengalami kejiwaan atau gila. Kabar tersebut membayang pikirannya sesampai di rumah. Ia menanyakan hal tersebut pada suaminya, apakah isu tersebut benar atau tidak. Tapi suaminya membantah hal itu semua, Bujang mengatakan hal itu hanyalah sebuah gunjingan. Perkataan suaminya, tak membuat Maya percaya begitu saja. Apalagi setelah ia dapat membuktikan dengan mata kepalanya sendiri bahwa nenek Rabimalam memang dirasanya gila. Karena masalah itu, membuat Maya dengan Bujang bertengkar, hingga Maya tidak tahan dan ingin secepatnya meninggalkan rumah nenek suaminya itu.
Pertengkaran tersebut pun diketahui nenek Rabimalam. Ia pun mengetahui bahwa Maya, mantu cucunya itu percaya pada perkataan orang lain bahwa Ia gila. Hingga pada malam itu terjadi sebuah peristiwa yang membuat Maya mengerti bahwa sebenarnya nenek Rabimalam tidaklah gila. Rabimalam hanya masih terbayang oleh suaminya yang terbunuh oleh sahabat baiknya, Mas Roi. Dan Rabimalam ingin membalaskan dendamnya itu dengan membunuh Mas Roi. Sampai akhirnya ia bisa mencapai niatnya itu di usia senja.
BAB III
LANDASAN TEORI
3.4 Pengertian Teori Struktural
Teori struktural dalam sastra adalah pengertian suatu karya, baik prosa, puisi maupun drama, berdasarkan strukturnya; dalam drama ini termasuk alur cerita, latar, penokohan dan tema. Penokohan adalah perkembangan tokoh-tokoh dalam cerita. Ada tiga jenis tokoh, yaitu protagonis (pelaku/pendorong cerita), antagonis (penghambat protagonis), dan tritagonis (pembantu protagonis dan atau antagonis). Hubungan diantara para tokoh dapat menyebabkan dan menyelesaikan konflik.
Alur cerita (plot) adalah apa yang terjadi dalam cerita. Alur ini dibagi dalam lima bagian, yakni perkenalan, penimbulan konflik, perkembangan konflik, klimaks dan penyelesaian. Walau secara klasik kelima bagian itu terurut sama seperti di atas, ada pula karya non-konvensional yang menggunakan urutan yang beda melalui flashback untuk mengembangkan cerita.
Latar ada tiga jenis, yaitu latar tempat, latar waktu, dan latar sosio-budaya. Latar tempat adalah ruang lingkup di mana cerita terjadi, baik secara sempit (misalnya ruang tamu) maupun luas (misalnya Daerah Istimewa Yogyakarta). Latar waktu adalah kurung waktu ketika cerita terjadi, baik secara sempit (misalnya jam tiga pagi) maupun luas (misalnya tahun 1965). Latar sosio-budaya adalah keseluruhan adat dan kebudayaan di tempat dan waktu di mana cerita terjadi.
Tema adalah hal-hal dasar yang dibahas dalam sebuah karya secara umum. Dalam naskah drama Malam Pengantin di Bukit Kera yang merupakan perjuangan universal atau menyeluruh. Ada tema klasik, di antara lain: yang baik mengalahkan yang jahat, dan yang lebih jarang digunakan seperti yang jahat mengalahkan yang baik.
Amanat merupakan pesan yang terkandung dalam drama Malam Pengantin di Bukit Kera.
Pada karya Malam Pengantin di Bukit Kera, akan dikaji melalui teori struktural dan dalam mengkaji karya drama ini yaitu berdasarkan naskah drama yang didapat, yang terdiri dari 10 halaman.
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Kajian Struktural Drama Malam Pengantin di Bukit Kera
A. Tokoh dan Penokohan
1) Rabimalam
Rabimalam adalah istri dari Raja Dukungan Tambun dan nenek dari Bujang Tambun; Ia penduduk asli Bukit Kera. Secara fisik Ia tua, namun giginya masih utuh:
Istri: ... Dan kupuji-puji giginya yang masih utuh, beliau mengatakan itu karena beliau sering berkumur-kumur dengan air garam sebelum tidur. ... (halaman 2)
Rabimalam juga terlihat sebagai perempuan kuat dan pemberani:
Istri: ... Nenek mengatakan dengan bangga, bahwa mereka keturunan petani-petani yang kuat, yang pantang menyerah dengan raksasa-raksasa alam. ... Nenek kita itu bangga bahwa mereka yang perempuan tampak agak kasar tangannya sebab mencangkul atau dengan malu dikatakannya bahwa perempuan disini tidak begitu cantik karena dibakar matahari saban hari. ... (halaman 2)
Cucu: Perempuan-perempuan disini tak ada yang takut. Apalagi nenek kami ini, salah seorang perempuan yang dikenal disini karena keberaniannya. (halaman 1)
Dilihat dari segi psikologis, batin Rabimalam sangatlah rumit. Di suatu ketika, Rabimalam dapat bersikap aneh sehingga dianggap gila oleh penduduk sekitar. Dia juga berjudi dan menembak-nembak atau memburu sesuatu di malam hari:
Istri: Apa yang telah nenek matikan?
Nenek: Ular! Seekor ular sawah. Kaget benar aku. Aku telah dengar ular itu berjanji dibalik pohon perdu, tapi hatiku berdetak, tentu ular itu takkan menerkam perempuan tua bangka macam aku ini. Tapi dasar ular lelaki barang kali, maka dengan gatal dia menjalar mau memelukku . . . . . Heh, kalian belum tidur? (halaman 3)
Ia juga suka memikirkan dan berkata tentang seks:
Nenek: Sekarang aku tahu, istrimu sedang mengidam. Itu makanya ia ingin berkelahi saja dengan kau, bahkan dengan aku. Gembiralah kau, cucuku, gembiralah. Kau akan menjadi bapak tak lama lagi . . . .
Dan Ia juga sangat membenci hal-hal yang berhubungan dengan negara eropa seperti Inggris atau Belanda, hal itu terlihat saat Maya berbicara dengan menggunakan bahasa Inggris, namun meskipun begitu Ia juga memiliki kepribadian pemaaf:
Istri: Sudah. Tell your grendma, don’t make me afraid, Bujang.
Nenek: Apa yang dikatakannya dalam bahasa Belanda itu bujang?
Cucu: Dia bukan berbahasa Belanda, tapi bahasa Inggris.
Nenek: Kenapa harus bahasa Inggris? Aku benci Inggris. Aku pernah melihat benteng tua Reples waktu merantau ke bengkulu dulu, dan mereka menjajah kita, kenapa harus berbahasa Inggris?
Cucu: Dia masih mengigau.
Nenek: Tapi aku tersinggung.
Istri: Ya, maaf Nek, maya tadi mengigau.
Nenek: Tapi aku tersinggung.
Istri: Maaf Nek.
Nenek: Ya, ya, telah kurelakan memaafkan ... (halaman 3)
Selain itu, Rabimalam memiliki sisi religius dan hati rohani yang tinggi, salah satu pertanyaannya adalah ketika Ia bertanya pada Maya apakah Maya pandai membaca kalimat syahadat :
Nenek: Kau pandai membaca kalimat syahadat? Ashadua alla illahaillah__ waashadu anna Muhammadarasulullah? (halaman 5)
Juga ketika Maya mengakui bahwa Ia takut kepada Rabimalam, Rabimalam berusaha membuat Maya tenang dan nyaman di rumah:
Nenek: Maya demi Allah, jangan takut di rumah ini. Aku bukan hantu! Aku bukan perempuan gila!
Istri: (Maya terkejut)
Nenek: kau terkejut?
Istri: Ya
Nenek: He, he! Apa kesalahanku Maya mantu cucuku? Mukaku memang sudah berkerut, tapi gigiku masih ada! Aku memang orang tua aneh, tapi dimana-mana di dunia ini, semua orang tua berkelakuan aneh. Itu biasa Maya. Tidak ada orang tua yang tidak aneh, carilah olehmu dimana-mana. Tapi itu bukan berarti gila. Aku tidak gila. ... (halaman 5)
Rabimalam juga sangat mencintai mantan suaminya, meskipun sudah bercerai tapi Ia tetap cinta. Sehingga Ia mampu membalas dendam atas pembunuhan terhadap mantan suaminya tersebut.
2) Bujang Tambun
Bujang Tambun adalah suami baru Maya, cucu dari Rabimalan dan Raja Dukungan Tambun. Secara fisik, Ia mirip dengan kakeknya:
Nenek: Tidak. Aku Cuma melihat mukamu. Kau seperti kakekmu benar, ketika kami kawin dulu. ... (halaman 1)
Bujang Tambun sangat mementingkan nama baik keluarganya dan setiap kata yang dianggap tidak baik ditentang dengan keras:
Cucu: Si Rabimalam, dengan pakai si di depan nama nenekku kata mereka? Bah . . . Sungguh biadap setan-setan betina itu. Siapa setan betina yang mengatakannya, kau kenal orangnya? (halaman 1)
Dia juga kasar dengan istrinya dan dari awal hubungan mereka telah berkali-kali berdusta. Namun, akhirnya dia bisa mengakui bahwa dia yang salah dan berusaha untuk perbaiki hubungannya dengan Maya:
Cucu: Memang yang sekali ini aku berdusta. Tapi aku tak berdusta tentang kehebatannya yang melebihi ejekanmu seperti pilem koboi soalnya laki-laki kami di sini menghormati kebanggaan hargadirinya ... (halaman 3)
3) Maya
Maya adalah istri baru Bujang Tambun. Secara fisik tidak disebutkan. Namun dari segi kepribadian, Maya adalah seorang gadis kota yang berpendidikan dan berani menentang suaminya ketika Ia merasa bahwa dirinya benar:
Istri: Kau pikir aku anak kecil? Nonsens semua! Aku telah bertahun-tahun belajar ilmu exact, ilmu alam, ilmu gaya berat dan mete-metika, kenapa aku akan takut pada hantu? Alangkah bodohnya aku selama ini, membohongi pikiranku dengan hantu, seperti dalam film drakula yang nihil semuanya . . . . . pergilah tidur! (halaman 7)
Namun terkadang Maya bersifat kekanak-kanakan; ketika dia harus menghadapi Rabimalam, Ia mengakui bahwa dirinya takut.
4) Raja Dukungan Tambun
Raja Dukungan Tambun adalah mantan suami Rabimalan dan kakek Bujang Tambun. Dia seorang penjudi yang amat dicintai Rabimalan tetapi akhirnya lebih memilih berjudi daripada bersama istrinya. Sudah meninggal pada awal cerita,menurut Rabimalan Ia meninggal karena diracuni Masroi.
5) Masroi
Masroi adalah teman berjudi Raja Dukungan Tambun dari Bukit Kera. Menurut tokoh lain, dia tampan tetapi brengsek :
Nenek: Tak tahu malu kau. Aku punya suami. Kau tak bisa menghargai rumah orang. Kau memang tampan, tapi dibalik rautmu itu ada yang jelatang.
Masroi juga dituduh bahwa Ia yang membunuh Raja Dukungan Tambun dan Ia akhirnya dibunuh oleh Rabimalan pada tahap klimaks.
B. Alur
Malam Pengantin di Bukit Kera memiliki alur lurus atau maju. Perkenalan terdapat pada lima halaman pertama. Disini dikenalkan Bukit Kera, Rabimalam, Bujang Tambun, dan Maya. Diperkenalkan pula latar cerita, yaitu sepasang suami istri yang baru menikah dan sedang bermalam pengantin atau berbulan madu di kampung halaman suami.
Pada halaman pertama pula telah dimunculkan penimbulan konflik, yaitu keanehan sikap Rabimalam, nenek Bujang Tambun yang membuat Maya, istri Bujang Tambun merasa bahwa Rabimalam gila:
Istri: Aku sudah tandai dalam beberapa hari ini beliau keluar pada jam-jam begini. Tidak takutkah dia?
Adapula konflik sekunder yang dimunculkan, yaitu perbedaan pendapat antara Bujang dengan Maya:
Cucu: ... Kenapa kau diam saja seperti orang yang kena sihir, Maya?
Istri: aku memang seperti kena sihir. Mereka mengatakan bahwa nenek kita Rabimalam telah gila . . .
Cucu: Gila! Nenekku Rabimalam gila, kata mereka? Siapa, siapa yang telah menagatakan kepadamu?
Istri: Waktu aku sore mandi di tanggul. Kau kan tahu, aku kurang paham bahasa orang desa sini, tapi dari kau aku belajar sedikit-sedikit bukan. Dan, dan mereka katakan bahwa si Rabimalam__ya, begitu kata mereka_gila!
Cucu: Si Rabimalam, dengan pakai si di depan nama nenekku kata mereka? Bah . . . Sungguh biadab setan-setan betina itu. Siapa setan betina yang mengatakannya, kau kenal orangnya?
Istri bujang terdiam dan menjadi gelisah.
Cucu: Katakan saja Maya!
Istri: Ya, aku akan katakan Kak Bujang, akan kukatakan. Tapi kau jangan marah. Aku khawatir timbul temperamenmu seperti dalam film-film koboi, kau ajak pula mereka berkelahi.
Peningkatan konflik terjadi pada halaman 6 sampai 8. Pertengkaran Bujang dengan Maya semakin heboh karena perbedaan pendapat yang semakin sulit disatukan:
Istri: Kau tidak mendengar, karena kau tadi tidur mendengkur. Akulah yang mendengarnya. Dia bercakap-cakap sendirian di rumah ini, memuji suaminya seperti seorang perempuan budak memuji raja Romawi . . . . . dan dia memegang senjata.
Cucu: Senjata itu takkan diletuskan ke jidatmu, tahu! Kau keras kepala seperti dia.
Istri: Tidak! Aku bukan dia. Kalu sekali waktu kau mati, aku tidak akan menangis sedih seperti dia, tetapi mencari akal bagaimana supaya aku bisa tentram.
Cucu: Marilah kita tidur Maya. Kita datang kesini bukan untuk berkelahi, tetapi untuk berbulan madu. Kita tinggal dua malam lagi disini, marilah kita isi dengan madu.
Istri: Nenekmu pengacau. Madu kita tertumpah, dimakan hantu-hantu di rumah ini.
Sementara alasan mengapa Rabimalam mulai dikatakan gila dikemukakan bahwa Ia sering berbicara sendiri dan berhalusinasi bahwa arwah suaminya masih ada yang dengan tiba-tiba menghampiri dirinya, serta dikemukakan pula bahwa Raja, mantan suami Rabimalam mati karena dibunuh oleh teman judinya, Masroi, dan Rabimalam hanya dapat memikirkan balas dendam.
Nenek: Aku bermimpi! Tidak, tidak aku yakin arwah suamiku masih ada di ruangan ini . . . . . Itulah akhirnya kesudahan dari hidup enak cerai. Ia lebih percaya pada sahabatnyadaripada kepada istrinya. Itulah mulainya malapetaka orang laki bini. Kami telah sama-sama tua diceraikan oleh kartu-kartu ini . . . . . (mengobrak-abrik kartu di meja, kemudian berdiri, dan mengumpulkan lagi kartu-kartu itu) tidak, tidak, aku tak benci pada suamiku. Aku benci pada kelakuannya. Sudah aku benar-benar merasa sunyi seperti sekarang ini. Ia berdiam di rumah si Masroi. Kafir murtat itu dan kudatangi dia, si Raja suamiku, hanya akan melihatnya. Akhirnya aku maik kartu, benar-benar jadi tukang judi, benar-benar jadi penjudi perempuan di bukit ini. Hanya sebagai cara untuk bertemu muka dengan si Raja ku. Tapi si Raja berhati pekat! Ia tak mau rujuk! Sampai akhirnya ia diberi minum racun oleh sahabatnya sendiri di tengah padang. Ia mati, terbunuh oleh sahabatnya sendiri dengan semangkok racun! Ooh, betapa khianatnya manusia, betapa khianat dan busuknya persahabatn dan itulah! Itulah nasib suami yang tak percaya pada omongan istri. (kemudian melangkah pergi, berdiri di depan pintu) Ya, ya kira-kira disirulah Rajaku dibunuhnya! Ya, di padang itu tempat anak-anak menggembalakan kambing-kambingnya di siang hari. Tempat cucu-cucuku melihat kijang kehausan di siang hari, tempat aku dulu pertama kali berjumpa dengan si raja ketika aku masih perawan. Dan dia berkata padaku: “Rabimalam, marilah kubawakan lodong airmu!”__tetapi aku pura-pura tidak mau. Ia berkata lagi: “Terlalu berat lodong airmu dibahu kau, nanti kau bungkuk ketika kulamar”__di tempat itu kurasa bumi berguncang dan lodong air itu masih kusimpan sampai dengan sekarang. Oh, Rajaku, kenapa tidak kau minta rujuk kepadaku, sehingga kau lebih percaya kepada sahabatmu dari pada kepada aku yang membikinkan kau kopi saban pagi, dan mengurut kakimu kalau kau mau tidur, mengerok punggungmu dengan uang kelit, tetapi kau lebih percaya dengan anak kafir turunan setan itu, jelatang kampung yang tak mau mati itu! Aku akan balas dendam!
Pada halaman 9, Rabimalam menembak Masroi di luar panggung dan alasan mengapa dia begitu ingin sekali membunuh Masroi selain karena alasan Masroi telah membunuh suaminya. Ini merupakan tahap klimaks:
(kemudian terdengar suara letusan senapan, Maya mendekap suaminya)
Cucu: Jangan cemas. Dua ekor kera telah dihabisinya. Besok pagi datang pembeli tepat menjelang fajar. Ini hanya letusan rutin saja.
Istri: Ah, tidak mungkin, aku sudah biasa. Aku medengar suara orang melolong waktu tembakan itu berbunyi pertamakali.
Cucu: Apa betul?
Istri: Betul.
Cucu: Aku juga ada mendengar suara lolongan itu. Tetapi di bukit ini gema apapun bunyinya sama.
Istri: Ayo kita lihat kesana. Jangan-jangan nenekmu . . . . . . . . . .
Cucu: . . . . . . . . . yang jadi sasaran tembakkan kedua tadi.
Istri: (mengangguk)
Cucu: Tidak mungkin, aku kenal betul dengan bedil kakek itu. Di Bukit Kera sini hanya ada
satu bedil model langsa begitu. Dua letusan tadi sama bunyinya.
Istri: Kalau begitu, alangkah beraninya Ia
Cucu: Nenekku sungguh berhati pekat. Aku sudah sejak lama melihat perangi beliau, mengintai lelaki untuk membalas dendam kusumatnya.
Istri: Kak Bujang, aku bukan saja mengatakan ia berani juga gila! Dia betul-brtul gila.
Nenek: (muncul tiba-tiba) Aku tidak gila. (kemudian berjalan menuju meja)
Istri: Maafkan saya Nek.
Nenek: Aku tidak gila. Siapa bilang perbuatan gila kalau aku tahu benar aku harus membinasakan kejahatan? Aku bukan saja menembaknya karena dia telah kurang ajar kepadaku, aku yang begini tua, masih juga dirangkulnya dua hari yang lalu. Katanya dia telah memedam rasa, berpuluh tahun ingin merangkulku! Kalau waktu itu aku membawa arit, telah kubasahi perutnya. Lelaki tidak tahu malu, tua-tua keladi makin tua makin gatal. Kau perempuan muda, cucu mantuku yang menuduhku gila, apakah kau bisa menerima orang seperti Masroi itu, mengganggu gadis-gadis yang pulang mandi? Apakah peradapan telah lenyap? Apakah kita harus melupakan Tuhan sekarang? Kurasa tidak, itumakanya kubunuh dia. Kalau kau menuduhku gila, kalian sama saja dengan Masroi dalam menghargai kehormatan. Sekarang aku telah puas. (suara semakin pelan) Rajaku Dukungan Tambun, sayangku, gunungku, sungaiku, bukitku, . . . . . aku telah menuntut bela atas kematianmu . . . . . . (kemudian tiba-tiba berdiri) Bujang tambun! Kau angkat ke sini mayat jahanam itu, supaya istrimu tahu bahwa aku tidak gila sama sekali.
Pada halaman terakhir terjadilah penyelesaian masalah. Disini Bujang Tambun dan Maya mampu menyelesaikan masalah mereka dan mereka sadar bahwa nenek Rabimalam telah terbuai karena dendamnya:
Istri: Maafkan saya Nek, (sambil memeluk) maafkan saya . . . . . . . . .
Nenek: Betapa baiknya jika kau datang ke kampung kami tanpa prasangka Maya. Dan kau memeluk nenekmu seperti sekarang ini. Kau tahu, cucuku, dunia ini senantiasa akan semakin runtuh karena curiga sesamanya, seperti kau pertama kali datang dahulu. Tetapi aku telah memaafkan Maya.
(kemudian muncul Bujang Tambun membawa mayatnya Masroi)
Nenek: Itulah dia. Aku tidak bangga dengan kejadian ini, Maya, karena biasanya peluru-peluru kutembakkan pada kera-kera dibukit ini. Besok kita sama-sama menguburkan dia, oh, dia begitu tampan tetapi terlalu sial. Salahkan aku Maya?
Istri : (diam saja)
Nenek: Salahkah aku Maya. (kemudian mendekap Maya dan ketika dilepaskannya Maya menggelengkan kepala) Tidurlah. Nikmatilah malam-malam yang tinggal ini sebelum kalian pulang.
C. Latar
Secara luas cerita ini terjadi di Bukit Kera, suatu desa yang terkenal untuk kera-keranya yang dulunya banyak sekali, tetapi kini sudah lenyap, karena dijual kepada orang Tionghoa untuk membuat obat kuat:
Nenek: Memang di sini juga tak ada minyak cap mecan. Sudah lebih dari sepuluh tahun aku tidak berjumpa dengan obat minyak cap macan. Berkali-kali ku pesankan pada cina-cina yang membeli kera di sini, kupesankan supaya mereka membawa minyak cap macan tapi mereka cuma membawa karung, untuk membawa kera. ... (halaman 5)
Secara sempit, drama ini terjadi di ruang tamu rumah Nenek Rabimalam. Tokoh-tokoh keluar masuk ruang itu saja; ruangan lain tidak diperlihatkan. Latar waktu yang luas dalam cerita ini tidaklah jelas. Hanya diberi tahu latar waktu yang sempit, yaitu pada dua malam terakhir malam pengantin Bujang Tambun dan Maya.
Cucu: (berjalan mendekat) Marilah kita tidur Maya. Kita datang kesini bukan untuk berkelahi, tetapi untuk berbulan madu. Kita tinggal dua malam lagi disini, marilah kita isi dengan madu. (halaman 6)
Latar sosial-budaya adalah budaya di desa Bukit Kera. Apabila dinilai dari tokoh-tokoh yang berasal dari daerah itu (Rabimalam, Bujang Tambun, Raja Dukungan Tambun, dan Masroi), orang-orang di daerah tersebut terlihat keras dan kasar:
Nenek: ... Bujang Tambun! Kau angkat kesini mayat jahanam itu, supaya istrimu tahu, bahwa aku tidak gila sama sekali. (halaman 9)
Di Bukit Kera kehormatan keluarga dinilai di atas segala-galanya:
Cucu: Si Rabimalan, dengan pakai si di depan nama nenekku, kata mereka? Sungguh biadab setan-setan betina itu. Siapa setan betina yang mengatakannya, kau kenal orangnya?(halaman 1)
Selain itu, orang di Bukit Kera suka bergosip mengenai orang lain, khususnya yang dianggap berperilaku aneh:
Istri: Waktu aku sore tadi mandi di tanggul. ... Dan... dan... merekakatakan, Si Rabimalan__ya, begitulah kata mereka__gila! (halaman 1)
D. Tema
Malam Pengantin di Bukit Kera memiliki beberapa tema yang yang dapat dipetik, yaitu ada tiga tema utama yang terwujud dalam drama ini. Ketiga tema itu ialah balas dendam, cinta mati, dan mengatasi perbedaan. Ide pokok alur cerita ini ialah rencana Rabimalam untuk membalas dendam pembunuhan mantan suaminya; dia akhirnya berhasil. Dalam naskah drama ini, balas dendam digambarkan sebagai sesuatu yang bisa membawa kehancuran kepada penyimpannya; nenek Rabimalan sudah ditinggal orang-orang Bukit Kera lain karena dianggap gila.
Tema kedua ialah cinta mati. Ini terwujud dalam Rabimalam, yang walaupun ditinggal pergi oleh suaminya masih terbayang-bayang dan mencintainya sampai mampu melanggar prinsipnya dan membunuh Masroi. Bujang Tambun dan Maya merupakan cinta yang belum cukup kuat untuk dibawa sampai mati; mereka baru menikah dan sudah sering bertengkar. Dengan demikian, cinta mati digambarkan sebagai sesuatu yang hanya terdapat setelah lama bersama orang lain.
Tema terakhir adalah mengatasi perbedaan. Bujang Tambun dan Maya adalah contoh yang paling jelas. Bujang Tambun dan Maya pada awal cerita mempunyai sudut pandang yang jauh berbeda dan akibatnya sering bertengkar. Namun, setelah pendapat mereka menjadi satu setelah menyaksikan pembunuhan Masroi mereka dapat saling memahami dan akan berusaha tetap menjaga hubungan mereka.
E. Amanat
Dalam menjalankan proses adaptasi, seseorang haruslah cerdas dalam bersosialisasi dengan lingkungan barunya. Agar tidak mudah terpengaruh perkataan orang lain yang belum ada buktinya, dan tidak terjerumus kepada hal-hal yang tidak diinginkan, hal ini merupakan salah satu amanat dari drama ini. Selain itu, janganlah dendam. Karena dendam, apalagi dendam yang sudah dipendam terlalu lama, akan menyiksa diri kita sendiri.
Dari unsur ekstrinsik drama Malam Pengantin di Bukit Kera, dapat dilihat dari segi sosiologis sastra, yaitu nilai sosial budaya yang terkandung di dalamnya. Drama ini mengkisahkan tentang keanekaragaman budaya yang sulit disatukan, antara budaya yang satu dengan budaya yang lainnya. Keterasingan wanita yang hidup di budaya kota dan harus beradaptasi di lingkungan baru di kampung halaman suaminya. Lingkungan baru itu sangatlah membuat wanita kota ini tidak betah berlama-lama di kampung yang menurutnya sangat aneh dan menakutkan. Hal ini dapat dilihat dari orang-orang yang ada di kampung itu berwatakan keras dan kasar, seperti pada kata-kata kasar yang sering dilontarkan Bujang Tambun terhadap Maya, istrinya. Lalu kebiasaan Rabimalam, yang suka menembak kera-kera di hutan pada malam hari, juga menjadi budaya yang aneh di kampung Bukit Kera itu. Wanita-wanita di kampung ini pun digambarkan wanita yang pemberani dan perkasa. Meski terlihat tua, tetapi gigi mereka masih utuh. Rabimalam pun salah satu wanita pemberani di kampung ini. Kebiasaan bergosip di kampung ini pun menjadi kebiasaan sehari-hari, apalagi yang dilihat mereka ada sesuatu yang aneh di kampungnya.
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Malam Pengantin di Bukit Kera merupakan salah satu karya drama tahun 1962 yang ditulis oleh Motinggo Busye. Meskipun ceritanya singkat, namun drama ini memiliki nilai artistik yang tinggi, yaitu mengungkapkan perbedaan budaya yang sulit disatukan. Temanya bersifat universal atau umum, dan tokoh-tokohnya pun memiliki karakter yang menarik. Mulai dari Rabimalam, seorang nenek yang disangka gila oleh penduduk sekitar, Bujang Tambun yang keras, suka berdusta namun penyayang serta memiliki harga diri yang tinggi, Maya yang penakut akan budaya yang asing bagi dirinya, Raja Dukungan Tambun, dan Masroi merupakan sosok yang melatarbelakangi konflik pada drama ini. Jalan cerita dalam drama ini pun cukup menarik, dan sulit ditebak bagi mereka yang menonton pertunjukannya.
Drama ini selain menjujung tinggi nilai budaya, juga menegakan keadilan, meskipun dengan cara yang salah. Oleh karena itu amanat yang terkandung dalam cerita ini adalah janganlah kamu memiliki sifat pendedam yang berlarut-larut, karena itu akan membuat diri semakin tersiksa.
DAFTAR PUSTAKA
Busye, Motinggo. Malam Pengantin di Bukit Kera (1962). Diketik ulang pada tahun 2007 oleh CARESA SMAN 1 Mejayan
Erowati, Rosida, dkk. Sejarah Sastra Indonesia. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2011
Widjojoko, dkk. Teori dan Sejarah Sastra Indonesia. Bandung: UPI PRESS. 2006
http://www.scribd.com/doc/38352887/Analisis-Malam-Pengantin-Di-Bukit-Kera
minta naskah untuk pentas
BalasHapus