Kajian
“Asmaradana” dalam Sastra Bandingan
Oleh: Puji
Santosa
Puji
Santosa mengawali kajiannya dengan pengantar
kajian terlebih dahulu. Dalam pengantarnya ia memaparkan tentang studi sastra
bandingan yang harus dibudayakan. Ia mengartikan bahwasannya studi sastra
bandingan “Kesusastraan Asia Tenggara” dapat diangkat menjadi mata kuliah wajib
bagi perguruan tinggi yang membuka program studi kesusastraan di seluruh
wilayah Asia Tenggara. Untuk mewujudkan gagasannya tersebut, kajian sastra
bandingan yang akan Puji Santosa bicarakan adalah studi kasus terhadap
“Asmaradana”, yakni matra puisi Jawa klasik dan pengaruhnya terhadap karya
sastra Indonesia modern. Asmaradana ini merupakan bentuk karya sastra Jawa
Klasik yang diresepsi secara produktif oleh tiga sastrawan Indonesia modern,
yaitu Danarto, Goenawan Mohamad, dan Subagio Sastrowardoyo.
Selanjutnya,
Puji santosa menjelaskan kerangka teori
dalam kajian sastra bandingannya, yang di dalamnya terdapat pemaparan tentang
perkembangan studi sastra bandingan yang lahir pertama kali di Perancis, Eropa
dan batasan pada studi sastra bandingan yang tidak hanya terbatas pada kajian
sastra saja, namun meliputi juga teori dan kritik sastra. Puji Santosa
menjelaskan bahwa hakikat kajian sastra bandingan adalah mencari perbedaan atau
kelainan, di samping kesamaan dan pertalian teks. Puji Santosa menyebutkan pula
langkah-langkah agar pembaca lebih jelas dalam memahami kajian studi sastra
bandingan “Asmaradana”. Pada langkah pertama, kita kaji terlebih dahulu secara
medalam teks “Asmaradana” dalam sastra Jawa sebagai tempat asal-muasal teks itu
dilahirkan. Langkah berikutnya, kita mencoba mencari teks-teks lain yang
merujuk pada “Asmaradana” dalam karya sastra Indonesia modern. Dengan demikian
menurutnya, ada dua teks atau lebih sebagai bahan kajian sastra bandingan. Teks
pertama dijadikan sebagai acuan pokok bandingan teks kedua dan seterusnya atau
teks pertama dapat dijadikan sebagai acuan teks kedua dan teks kedua pun dapat
pula diacu oleh teks pertama atau sebelumnya. Puji Santosa menjelaskan cara
kerja sastra bandingan, menurut pendapat Teeuw (1983: 65) bahwa setiap karya
sastra menggunakan “latar” atau menurut istilah Riffaterre (1978) “hipogram”,
baik hipogram potensial maupun hipogram aktual. Menurut Puji Santosa setiap
karya sastra yang baru itu tidak ada yang betul-betul mandiri atau otonom.
Artinya, penciptaan dan pembacaanya tidak dapat dilakukan tanpa adanya
teks-teks atau wacana lain sebagai contoh, teladan, model, pola dasar,
referensi, atau kerangka acuan.
“Asmaradana” dalam teks
sastra Jawa klasik, merupakan poin ketiga dalam kajian
sastra bandingan Puji Santosa. Ia memberi penjelasan terhadap pengertian
Asmaradana dalam setiap perkembangannya menurut beberapa referensi. Asmaradana
merupakan jenis sastra tembang atau metrum macapat dalam khazanah sastra Jawa
Klasik. Konon kabarnya, referensi yang ia kutip dari pernyataan Saputra (1992:
25), sekar macapat asmaradana dalam tradisi lisan diciptakan oleh Kenjeng Sunan
Giri Kedaton pada abad XV Masehi. Sebagai salah satu bentuk sajak Jawa
tradisional, asmaradana memiliki sifat persajakan yang mampu menggambarkan
kesedihan akibat ulah api asmara, rindu dendam asmara dan mencerminkan suasana
kemesraan, kerinduan, kegundahan hati sesuai dengan wataknya yang Puji Santosa
kutip dari pernyataan Hardjowirogo (1952: 67), Padmosukotjo (1958: 17) dan
Subalidinata (1968: 98).
Contoh
tembang asmaradana dalam bahasa Jawa:
Anjasmara ari mami
mas mirah kulaka warta
dasihmu tan wurung
layon
aneng kutha Prabalingga
prang tandhing
Wurubhisma
karta mukti wong ayu
pun kukang pamit
palastra.
Tembang
sekar macapat asmaradana memiliki sistem formula yang sangat ketat, yaitu guru
gatra (jumlah larik dalam satu bait) = 7 larik, guru wilangan (aturan jumlah
suku kata tiap larik) = 8888788, dan guru lagu (bunyi akhir vokal tiap larik) =
i, a, e/o, a, a u, a. Formula persajakan Asmaradana seperti itu, sepanjang
masa, pola persajakannya tidak berubah sama sekali. Selain memaparkan formula
persajakan asmaradana, Puji Santosa juga memberikan beberapa teknik untuk
memilih bunyi vokal akhir pada setiap larik agar sesuai dengan ketentuan guru
lagu.
Selanjutnya Puji Santosa membahas “Asmaradana” dalam teks sastra Indonesia
modern. Dalam khazanah karya sastra Indonesia modern terdapat tiga teks
sastra yang menggunakan judul “Asmaradana”. Tiga teks karya sastra itu satu
berbentuk cerita pendek, “Asmaradana” karya Danarto, dan dua berbentuk puisi
atau sajak “Asmaradana” karya Goenawan Mohamad, dan “Asmaradana” karya Subagio
Sastrowardojo. Dalam pembahasannya kali ini, Puji Santosa memaparkan bahwa
ketiga karya “Asmaradana” tersebut ditulis pada tahun 1970-an oleh ketiga
pengarang yang berbeda. Berdasarkan hal ini, Puji Santosa berpendapat dapat
dilakukan studi sastra bandingan secara sinkronis (satu zaman). Namun dapat
pula dilakukan studi sastra bandingan secara diakronis (berlainan zaman) untuk
menelusuri genetika sajak “Asmaradana” dalam khazanah sastra Jawa klasik yang
sudah ditulis mulai abad XV Masehi. Kemudian Puji Santosa juga mengingatkan
terdapat empat asas yang menjadi pokok pembanding, yaitu (1) genetik teks, (2)
generik teks, (3) tematik teks, dan (4) kesejajaran teks. Atas dasar empat asas
pokok pembanding itu, Puji Santosa mempertimbangkan bahwa cerita pendek
“Asmaradana” karya Danarto dikeluarkan dalam kajian sastra bandingan.
Menurutnya, “Asmaradana” karya Danarto hanya mengacu teks sastra Jawa,
Asmaradana, sebagai suatu genetik gagasan dan bukan sebagai genre. Teks yang
demikian menurutnya, tidak memiliki kesejajaran teks untuk dibandingkan. Atas
dasar alasan itu, Puji Santosa merasa yang paling cocok dijadikan sampel kajian
sastra bandingan, yaitu antara “Asmaradana” dalam khazanah sastra Jawa klasik
dengan “Asmaradana” dalam khazanah sastra Indonesia modern, adalah sajak
“Asmaradana” karya Goenawan Mohamad dan Subagio Sastrowardojo. Goenawan dan
Subagio melakukan aktvitas dan kreativitas untuk menciptakan karya sastra
Indonesia modern.
Bagian selanjutnya dalam kajian
sastra bandingannya, Puji Santosa mengkaji “Asmaradana”
Goenawan Moehamad dan “Asmaradana”
Subagio Sastrowardojo. Berikut kutipan satu bait sajak “Asmaradana”,
Goenawan Mohamad:
Anjasmara, adikku, tinggallah
seperti dulu.
Bulan pun lamban dalam angin, abai
dalam waktu.
Lewat remang dan kunang-kunang,
kaulupakan wajahku,
kulupakan wajahmu.
Puji
Santosa menganalisis sajak “Asmaradana” Goenawan Mohamad, makna secara
keseluruhan dan per lirik dalam sajak tersebut. Lalu Puji Santosa juga
membandingkan sajak ini dengan asmaradana metrum tembang Jawa klasik dalam
episode Anjasmara-Damar Wulan. Persamaan kedua sajak tersebut terletak pada
judul sajak, roh atau jiwa sajak, sifat, suasana, dan karakter asmaradana yang
tidak mengalami perubahan sebagai bagian dari pokok cerita tentang kisah-kasih
asmara ynag bernada kesedihan, pilu, dan keromantisan. Selain itu nama tokoh
tidak berubah, yaitu Anjasmara dan
tokoh aku sebagai pengganti tokoh Damar Wulan. Perbedaan kedua sajak itu
terletak pada gaya penguncapan dan sejumlah modifikasi bentuk. Puji Santosa
memaparkan modifikasi-modifikasi bentuk yang ada dalam sajak “Asmaradana”
Goenawan Mohamad. Puji Santosa juga berpendapat bahwa Goenawan Mohamad tidak
sekadar mencontoh, meniru, atau menerjemahkan dari matra puisi Jawa klasik ke
dalam puisi Indonesia modern. Menurutnya, sejumlah modifikasi yang dilakukan
Goenawan Mohamad menunjukkan adanya aktivitas dan kreativitas penyair untuk
mengubah karya seni yang bermutu.
Selanjutnya analisis Puji Santosa,
terhadap sajak “Asmaradana” karya Subagio Sastrowardojo. Berikut kutipan sajak
“Asmaradana” Subagio Sastrowardojo:
sita di tengah nyala api
tidak menyangkal
betapa indah cinta berahi.
Raksasa yang melarikannya ke hutan
begitu lebat bulu jantannya
dan Sita menyerahkan diri.
Seperti
pada kajiannya terhadap “Asmaradana” karya Goenawan Mohamad, sajak “Asmaradana”
Subagio Sastrowardojo, Puji Santosa juga memberikan sedikit pengantar pertama
kali karya Asmaradana tersebut dimuat. Sajak “Asmaradana” Goenawan Mohamad
pertama kali dimuat dalam Interlude (1973)
yang berjudul “Asmaradana”. Sedangkan sajak “Asmaradana” karya Subagio
Sastrowardojo pertama kali dimuat dalam kumpulan sajak Keroncong Motinggo (1975). Pada sajak “Asmaradana” Subagio
Sastrowardojo, Puji Santosa menganilisis sudut pandang yang digunakan adalah
sudut pandang orang ketiga serba tahu, berbeda dengan sudut pandang yang
digunakan Goenawan Mohamad yaitu sudut pandang orang pertama terlibat. Lalu
Puji Santosa juga membandingkan makna secara keseluruhan, visi reformasi yang
diungkapkan juga jelas berbeda dengan sajak “Asmaradana” Goenawan Mohamad.
Sosok tokoh yang ada pada kedua karya tersebut juga sangat kontras. Puji
Sansosa juga berpendapat bahwa tokoh Sita pada sajak “Asmaradana” karya
Goenawan Mohamad, dimitoskan sebagai wanita suci, setia pada suami, tidak mempan
godaan atau rayuan Rawana, dan dingin terhadap napsu seksual. Namun, sosok Sita
yang muncul pada sajak “Asmaradana” karya Subagio Sastrowardojo justru
sebaliknya. Pengarang menggambarkan sosok Sita dalam sajak itu adalah sosok
wanita yang terkesan “wanita binal” atau “perempuan jalang” yang terhanyut oleh
arus cinta asamra penculiknya, Rawana. Pendapat Puji Santosa terhadap perbedaan
karakter Sita pada karya Subagio Sastrowardojo, dimaksudkan sebagai upaya
mempertanyakan kembali nilai-nilai mitos tersebut. Perbedaan kedua mitos ini
yang menjadi persoalan pelik bagi “dunia wanita” dan sulit dicari jalan
pemecahannya.
Bagian
terkahir dalam kajian sastra bandingan Puji Santosa yaitu penutup. Dalam penutup ini, ia menyimpulkan secara garis besar isi
makalah kajian sastra bandingannya tersebut, yang berisikan penjelasan singkat
tentang Asmaradana sebagai karya sastra Jawa Klasik, serta memberikan pendapat
secara keseluruhan terhadap Danarto, Goenawan Mohamad, dan Subagio
Sastrowardojo, bahwasannya karya “Asmaradana” yang mereka ciptakan adalah karya
sastra Indonesia modern yang diubah dengan daya kreativitas yang tinggi dan
menggunakan teknik berkisah yang cemerlang.
Komentar
Posting Komentar