REVIEW LAYAR TERKEMBANG
KARYA SUTAN
TAKDIR ALISJAHBANA
Novel Layar Terkembang karya Sutan
Takdir Alishjahbana ini lahir pada tahun 1936. Novel ini merupakan novel sastra
klasik yang ditulis Takdir mengenai peran wanita. Berkisah tentang kebebasan
seorang wanita dalam menentukan sikapnya terhadap kehidupan yang ia jalani.
Dalam Layar Terkembang ada tiga tokoh penting yaitu Tuti, Maria, dan Yusuf.
Tokoh Tuti merupakan tokoh yang paling berperan dalam novel ini, dilihat dari
sosok pejuang emansipasi wanita yang dimilikinya. Tuti memiki karakater yang
kuat dan keras dalam pendiriannya, ia bukan seorang yang mudah kagum, yang
mudah heran melihat sesuatu, keinsafannya akan harga dirinya amat besar. Ia
tahu bahwa ia pandai dan cakap serta banyak yang akan dikerjakannya dan
dicapainya (hlm. 5). Tuti juga merupakan seorang pemimpin perkumpulan terkemuka
Putri Sedar dari Bandung yang meyakini bahwa keadaan perempuan bangsanya amat
buruk. Dalam segala hal makhluk yang tiada mempunyai kehendak dan keyakinan,
manusia yang terikat oleh beratus-ratus ikatan, manusia yang hanya harus
menurut kehendak kaum laki-laki (hlm. 11). Berbeda dengan Maria, adiknya yang
merupakan seseorang yang mudah kagum, yang mudah memuji. Sebelum selesai benar
ia berpikir, ucapannya telah keluar menyatakan perasaannya yang bergelora, baik
waktu kegirangan maupun waktu kedukaan (hlm. 5). Sedangkan Yusuf merupakan
tokoh penengah, tokoh laki-laki yang memahami cita-cita kemajuan bangsa
khususnya kemajuan dalam emansipasi wanita, seperti saat ia mengajak Maria
untuk masuk salah satu perkumpulan bangsa. Menurutnya, “Sekarang bukan waktunya
lagi kita pemuda-pemuda berdiam diri. Seluruh masyarakat kita sedang bergerak.”
(hlm. 19).
Kembali pada tokoh Tuti yang menjadi
tokoh paling berperan dalam novel ini. Dilihat dari sisi feminisme, Tuti
berpendirian bahwa setiap manusia harus menjalankan penghidupannya sendiri,
sesuai dengan deburan jantungnya bahwa, perempuan pun harus mencari bahagianya
dengan jalan menghidupkan sukmanya (hlm. 15). Prinsip Tuti itulah yang tidak
dimengerti Maria. Bahkan karena pendirian itu, Tuti membatalkan pertunangannya
dengan Hambali, putera Bupati Serang yang pasti akan menggantikan ayahnya di
kemudian hari. Karena tidak sepaham, tidak sepekerti, pertunangan itu ia
batalkan (hlm. 14). Sosok emansipasi dalam dirinya juga ditunjukan dalam pidato
yang ia bawakan pada rapat Putri Sedar. Dalam pidatonya ia memaparkan
kesengsaraan kaum perempuan sebangsa setanah air. “Hitam, hitam sekali penghidupan perempuan
bangsa kita di masa yang silam, lebih hitam, lebih kelam dari malam yang gelap.
Perempuan bukan manusia seperti laki-laki yang mempunyai pemikiran dan
pemandangan sendiri, yang mempunyai hidup sendiri, perempuan hanya hamba
sahaya, perempuan hanya budak yang harus bekerja dan melahirkan anak bagi
laki-laki, dengan tiada mempunyai hak.” (hlm. 42). Kemudian Tuti menyimpulkan
hasil pidatonya untuk mengangkat derajat wanita, ia mengungkapkan bahwa, “... Kita
harus membanting tulang sendiri untuk mendapat hak kita sebagai manusia. Kita
harus merintis jalan untuk lahirnya perempuan yang baru, yang bebas berdiri
menghadapi dunia, yang berani membentangkan matanya melihat kepada siapa jua
pun. Yang percaya akan tenaga dirinya dan dalam segala soal pandai berdiri
sendiri dan berpikir sendiri. Yang berani menanggung jawab atas segala
perbuatan dan buah pikirannya. Malahan yang akan melangsungkan sesuatu
perkerjaan yang sesuai dengan kata hatinya. Yang berterus terang mengatakan apa
yang terasa dan terpikir kepadanya dengan suara yang tegas dan keyakinan yang
pasti.”... “Demikianlah perempuan yang dicita-citakan Putri Sedar bukanlah
perempuan yang berdiri dalam masyarakat sebagai hamba dan sahaya, tetapi
sebagai manusia yang sejajar dengan laki-laki, yang tidak usah takut dan minta
dikasihani. Yang tiada suka melakukan yang berlawanan dengan kata hatinya,
malahan yang tiada hendak kawin, apabila perkawinan itu baginya berarti
melepaskan hak-haknya sebagai manusia yang mempunyai hidup sendiri dan berupa
mencari perlindungan dan meminta kasihan. Ya, pendeknya seratus persen manusia
bebas dalam segala hal.” (hlm. 48).
Meski tokoh Tuti terlihat konsisten
pendirian, namun pada konflik antara dirinya dengan Maria, ia mengalami sedikit
goncangan batin. Konflik kakak beradik ini muncul, ketika Tuti mengetahui Yusuf
dan Maria telah berpacaran. Tuti mengenal Maria bukan Maria lagi, ia telah
menjadi bayang-bayang Yusuf. Percintaan harus berdasar atas dasar yang nyata:
sama-sama menghargai (hlm. 93). Ia pun sempat menyadari bahwa melihat Maria
saja benci hatinya, apalagi jika ia sedang bersama-sama Yusuf. Gerak-gerak
mereka, pandangan mereka yang berbahagia dan percakapan mereka yang mesra
berbisik, tiada terlihat olehnya dan sebab itu ia selalu menjauhkan dirinya dari
orang berdua itu (hlm. 94). Dalam konflik itu Maria berkata kasar terhadap
penolakan Tuti kepada Hambali, hal tersebut mengingatkan Tuti akan pendiriannya,
bahwa perempuan tidak tiada boleh memudahkan dirinya. Ia harus tahu di mana
watas haknya terlanggar dan sampai ke mana ia harus minta dihormati dari pihak
yang lain. Kalau tidak demikian, perempuan senantiasa akan menjadi permainan
laki-laki. Dan daripada menjadi serupa
itu, baginya baiklah ia tiada bersuami seumur hidupnya...Belum lagi ia menjadi
istri Hambali dahulu, ia sudah hendak mengatur hidupnya (hlm. 93). Pendirian
kuat itu tak sama sekali membuatnya menyesal. Tidak, tidak, ia tidak pernah
menyesal. Selalu ia berkata apabila perkawinan menjadi ikatan baginya, bagi
cita-cita dan pekerjaan hidupnya, biarlah seumur hidupnya ia tidak kawin. Hanya
satu pendirian itu saja yang sesuai dengan akal yang sehat (hlm. 94).
Setelah membatalkan pertunangannya
dengan Hambali, Tuti juga menolak lamaran Supomo, guru muda yang baru enam
bulan kembali dari negeri Belanda (hlm. 134). Awalnya ia mengalami kebimbangan
dalam hatinya, akankah ia menerima lamaran itu. Supomo pria yang baik, yang
tulus mencintai dirinya, hal itu pula yang mendesak umurnya yang telah 27
tahun, ia pun selama ini merasa kesepian. Dalam benaknya ia sadar bahwa dirinya
kalah oleh perasaan kelemahan. Ia tiada dapat cinta kepada Supomo dengan
sepenuh-penuh hatinya, sebab Supomo tergambar kepadanya hanya sebagai orang
yang baik hati, yang tiada mempunyai sesuatu kecakapan yang akan dapat
dipujanya. Kalau menjadi istrinya, maka itu perbuatannya itu bukanlah oleh
karena cintanya kepada Supomo, tetapi untuk melarikan dirinya dari perasaan
kehampaan dan kesepian (hlm. 147). Tuti pun memutuskan untuk menolak lamaran
Supomo.
Pada akhir cerita, Maria dikisahkan
terserang penyakit TBC, dan harus dirawat dirumah sakit hingga akhirnya ia
meninggal dunia. Sebelum kepergiannya, Maria menitip pesan terakhir untuk Tuti
dan Yusuf, bahwa mereka harus bersatu seperti yang diungkapkannya, “Alangkah
berbahagia saya di akhirat nanti, kalau saya tahu, bahwa kakandaku bedua hidup
rukun dan berkasih-kasihan seperti kelihatan kepada saya dalam beberapa hari
ini....” (hlm. 195). “Inilah permintaan saya yang penghabisan dan saya, saya
tidaklah rela selama-lamanya, kalau kakandaku masing-masing mencari peruntungan
pada orang lain.” (hlm. 196). Permintaan Maria ini, menunjukan sisi kelembutan
dan keikhlasan seorang wanita yang ia miliki. Ia melihat bahwa Tuti dan Yusuf
sangatlah cocok, terlebih jika mereka menjadi pasangan suami istri. Ia
memperhatikan saat dirinya sakit, Tuti dan Yusuf semakin dekat dan akrab. Ia
pun menyadari bahwa Yusuf adalah sosok pria ideal dan idaman wanita, termasuk
sosok yang diidamkan kakaknya, Tuti. Dari awal pertemuan, Tuti dan Yusuf
sebenarnya sudah saling mengagumi. Ketika Yusuf mendengar pendapat Tuti saat
mereka berdebat soal agama, pikiran yang
setegas dan sejelas itu sususannya, Yusuf terdiam kekaguman sejurus (hlm. 37).
Tuti pun sejak awal mengagumi Yusuf, karena Yusuf memiliki sosok lelaki yang dapat
diajak berdiskusi dan berdebat, Yusuf juga memiliki pemikiran yang sama dengan
dirinya dalam hal kemajuan bangsanya. Tuti juga sempat merasa cemburu, setiap
kali melihat Yusuf dan Maria berpacaran di depan matanya. Hal tersebutlah yang akhirnya
membuat Yusuf dan Tuti mengabulkan permintaan terakhir Maria, untuk tidak lagi
mencari peruntungan jodoh kepada orang lain dan bersatu dalam ikatan
perkawinan.
Komentar
Posting Komentar