Review Tragedi Buah Apel
Seks dalam Karya
Ayu Utami dan Erica Jong oleh Lisabona Rahman
Lisabona Rahman mengawali kajian sastra
bandingannya dengan menjelaskan latar belakang mengapa ia memilih dua karya
sastra yang ia bandingkan tersebut beserta alasan-alasan yang logis. Rahman membandingkan
dua karya sastra yang menggambarkan hubungan seksual dan sesksualitas oleh penulis
perempuan yang menjadi inti utama perdebatan akan dibahas lebih mendalam. Untuk
melihat gagasan yang ditawarkan penulis tentang pengalaman seksual perempuan,
Rahman akan membahas dua hal dalam tulisannya, yaitu: bagaimana penulis
menampilkan hubungan heteroseksual dan bagaimana perempuan mengenal (atau
diperkenalkan kepada) tubuhnya. Dalam tulisannya, Rahman memilih satu karya, Saman karya Ayu Utami yang terbit pada
tahun 1998, dan membandingkannya dengan karya penulis Amerika Serikat Erica
Jong, Fear of Flying yang terbit pada
tahun 1973. Rahman memilih kedua karya tersebut bukan karena pertimbangan mutu
yang jauh lebih baik daripada karya-karya perempuan lain yang mengangkat
masalah seks dan seksualitas, juga bukan karena Rahman menganggap sebagai panutan
dari karya sastra perempuan yang membahas masalah serupa, akan tetapi lebih
karena kemiripan kondisi dan tanggapan yang bermunculan saat kedua karya
tersebut diterbitkan. Dengan menyebut adanya kemiripan, Rahman juga tidak
sedang menyamakan karena kedua karya tersebut terbit pada kurun waktu yang
terpaut jauh dan dalam kondisi budaya yang berbeda pula.
Selanjutnya dalam kajian sastra
bandingan ini, Rahman menceritakan kembali, atau memberikan sinopsis dua karya
sastra yang ia bandingkan. Judul tersebut diberi nama, Sedikit tentang cerita Saman dan Fear of Flying. Sinopsis ini
mencakup ringkasan cerita yang cukup tertata rapi yang di dalamnya terdapat
jumlah, dan nama-nama tokoh beserta karakternya masing-masing, persamaan kedua
novel tersebut yang memperlihatkan dua karakter feminis yang berlainan. Rahman
mengutip beberapa tokoh seperti Rachel DuPleiss yang memaparkan sudut pandang
pengarang dalam cerita. Rahman juga memaparkan alur atau jalan cerita/peristiwa
secara singkat kedua karya dan mengkaji latar belakang penulis menghasilkan
karya tersebut.
Kajian selanjutnya, Rahman mengkaji Tantangan atas stereotipe percintaan
heteroseksual. Dalam kajian ini, Rahman menyantumkan beberapa kutipan dalam
kedua novel untuk memperkuat kajiannya. Rahman membandingkan kedua karya
tersebut dari dialog-dialog yang diucapkan para tokoh-tokoh dalam kedua karya
tersebut. Dari dialog antar tokoh, dapat ditemukannya persamaan-persamaan inti
cerita dalam kedua karya tersebut, seperti yang dipaparkan Rahman, “Baik dalam Fear of Flying maupun Saman, seks bukan hanya masalah anatomi
atau hubungan fisik dalam bentuk seksresi atau ekskresi, melainkan juga sesuatu
yang berjalan di dalam kepala (Fear of Flying, 40, Saman, 196).” Tantangan atas
stereotip percintaan heteroseksual yang dimaksud disini yaitu Rahman mengulas
adanya gugatan atas hubungan heteroseksual dalam kedua novel muncul tanpa
dengan tegas memberi alternatif yang lebih baik. Seperti dalam pemaparannya, “Konsekuensi
kepemilikan dari percintaan heteroseksual dalam kedua karya digambarkan
memuncak dalam perkawinan.”
Kemudian dalam kajian selanjutnya,
Rahman memaparkan Pengenalan terhadap
tubuh dan seksualitas. Kajian ini berisikan cerita tentang sosialisasi seks
tokoh yang paling menonjol dalam kedua karya tersebut beserta kutipan cerita
dalam novelnya. Rahman membandingkan novel Saman
yang sebagian besar disuarakan oleh Shakuntala yang bercerita tentang
sosialisasi seks dirinya dan teman-temannya, dengan Fear of Flying
yang sebagian besar disuarakan oleh Isadora yang digambarkan kemarahannya
karena proses sosialisasi yang ambigu, yaitu perbedaan pemikiran tentang
sosialisasi seks antara Isadora dengan ibunya.
Seks
di ruang publik: tanggapan para kritikus sastra, merupakan kajian Rahman selanjutnya mengenai
tanggapan para kritikus sastra terhadap karya tentang seks. Rahman mengawalinya
dengan memaparkan tahun terbit kedua karya beserta penerbit yang telah mencetak
ulang berkali-kali karya tersebut. Rahman berpendapat Saman dan Fear of Flying
merupakan karya yang sangat berhasil dari segi pemasaran, namun keduanya memicu
reaksi penolakan di media massa karena mengangkat masalah seks. Untuk
menguatkan pendapatnya, Rahman juga menyantumkan pandangan beberapa tokoh
terhadap kedua karya seks tersebut. Pernyataan tokoh-tokoh yang dikutip dalam
kajian Rahman antara lain, Medy Lukito, Bonardo Maulana. W, Sunaryono Basuki
Ks, Aquarini P. Prabasmoro, Susan Sontag, dan lain-lain. Tokoh-tokoh tersebut
memaparkan mutu karya dan penggunaan bahasa sehari-hari yang vulgar dalam Saman dan Fear of Flying merupakan tema bahasan yang banyak diangkat dalam
kritik atas keduanya. Disamping diungkapkannya tanggapan seks di publik, Rahman
memaparkan pula keunggulan pada penulisan bahasa dengan nuansa lisan kedua
karya tersebut, dengan tidak menggunakan bahasa yang tinggi, kedua karya
tersebut dengan mudah diterima khalayak. Rahman pun beranggapan bahwa cerita
yang dituangkan dalam sebuah karya mencerminkan sikap pengarangnya.
Kajian yang terakhir yaitu Rahman
mengemukakan, “Meskipun jarak waktu antara Saman
dengan Fear of Flying terpaut hampir satu generasi, namun adanya perbedaan konteks budaya penciptaan dan
tanggapannya, menarik untuk melihat bahwa kreativitas kedua pengarang perempuan
ini mendapat tanggapan yang hampir sama.” Rahman juga mengangkat permasalahan
perempuan pada kedua karya tersebut sesuai dengan perkembangan perempuan pada
masa karya tersebut diterbitkan. Kelemahan dan keunggulan kedua karya yang
dibandingkan, dipaparkan oleh Rahman secara gamblang di lembar terakhir
kajiannya dengan menggunakan judul Mencuri,
membongkar. Rahman mengemukakan pula alasan ia menggunakan judul Tragedi Buah Apel dalam kajian sastra
bandingannya, menurutnya Saman maupun
Fear of Flying barangkali adalah buah apel yang telah membukakan
mata dan menjadi inspirasi buat pengarang-pengarang setelahnya dan sekaligus
menjadi contoh buruk karena telah mempermainkan batas-batas tabu. Rahman juga
menyatakan, “Tetapi cukup jelas bahwa karya mereka telah membuat tatanan yang
ada harus menata ulang batas-batasnya untuk membuka ruang-ruang lain, yang
sebelumnya terlarang bagi pengarang perempuan, sambil barangkali membangun
dinding-dinding penyekat baru.”
Komentar
Posting Komentar