REVIEW BELENGGU KARYA ARMIJN PANE
Novel Belenggu karya Armijn Pane ini
lahir pada tahun 1940. Seperti pada halnya novel Layar Terkembang karya Sutan
Takdir Alisjahbana, Belenggu pun mengangkat kisah yang sama, yakni mengisahkan
tentang peran wanita. Tokoh penting dalam novel ini juga sama seperti pada
Layar Terkembang, yakni tiga tokoh yang terlibat dalam hubungan cinta segitiga
antara Tini, Yah, dan Tono. Empat tahun lahirnya novel ini dari Layar
Terkembang, sudah tampak wanita terpelajar, wanita yang paham akan hak-haknya,
sudah tampak juga pergaulan di antara wanita dengan wanita, juga antara wanita
dengan pria. Sama halnya seperti pada Layar Terkembang, jika dilihat dari sisi
feminisme, tokoh Tuti lah yang paling berperan dalam novel ini. Tuti memiliki
karakter yang keras dan kuat pendirian. Ia berasal dari keluarga berada, wanita
terpelajar yang berpendidikan tinggi dan pergaulannya luas. Sedangkan Yah
merupakan sosok wanita seperti Maria, yang mampu melakukan perkerjaan rumah,
lembut dan mampu melayani suami dengan baik. Tono memiliki kesejajaran dengan
Yusuf, Yusuf merupakan mahasiswa kedokteran, sedangkan Tono berprofesi sebagai
dokter.
Pada novel Belenggu, sosok feminisme ada
pada kedua tokoh Tini dan Yah. Yah merupakan wanita yang berlebih-lebihan dalam
menuntut persamaan hak dengan laki-laki. Ia melalaikan tugasnya sebagai seorang
istri untuk mengurus rumah tangga dan melayani suami. Pernikahannya dengan Tono
pun tidak didasari oleh cinta yang murni. Tono menikahi Tini karena Tini adalah
gadis yang cantik dan cerdas, sedangkan Tini mau menjadi istri Tono karena Tono
adalah seorang dokter, yang pastinya akan mengangkat derajat hidupnya dan
alasan lain agar ia mampu melupakan masa lalunya yang pernah ditinggal seorang
kekasih. Hal tersebut yang membuat pernikahan mereka tidak harmonis. Tini
selalu menentang pemikiran Tono, Tini hanya memikirkan dirinya sendiri dan
enggan melayani suami sebagai mana mestinya. Tini menganggap dirinya adalah
wanita modern, seperti kata Tini kepada seorang Ibu, “Memang, Ibu! Jalan
pikiran kita berlainan. Aku berhak juga menyenangkan pikiranku, menggembirakan
hatiku. Aku manusia juga yang berkemauan sendiri. Kalau menurut pendapat Ibu,
kemauanku mesti tunduk kepada kemauan suamiku. Bukan Ibu, bukankah demikian?
Kami masing-masing berkemauan sendiri” (hlm. 53). Tini merupakan sosok tokoh
yang hendak merealisasikan pemikiran tokoh Tuti. Belenggu memunculkan dua
karakter wanita berbeda, namun pada akhirnya memiliki sisi feminisme yang sama.
Karakter Tini yang tetap berdiri terhadap pendiriannya untuk menjadi manusia
yang bebas, yang tidak terikat suatu aturan apapun tanpa memahami hak dan
kewajibannya dalam rumah tangga. Belenggu mengkritisi tokoh Tuti yang
mengatakan bahwa,”...seratus persen manusia bebas dalam segala hal.” Jika
prinsip itu diterapkan seorang wanita dalam rumah tangga, maka ia akan lupa
akan kewajibannya terhadap suaminya. Seperti yang tergambar pada sikap Tini
yang tidak mau melayani suami sebagai mana mestinya seorang istri, akibatnya
rumah tangga ia dengan Tono menjadi tidak harmonis karena sikap egoisnya. Di
sisi lain, sosok Yah adalah wanita yang mampu menjadi istri idaman setiap
suami. Yah adalah teman lama Tono, yang dari dulu hingga sekarang masih setia
mencintai Tono. Ia melarikan diri, karena pernikahannya dengan suaminya
merupakan kawin paksa. Ia tidak pernah mencintai suaminya, terlebih usia
suaminya terlampau 20 tahun lebih tua darinya. Kemudian Yah mencari Tono,
berpura-pura menjadi pasien Tono, hingga akhirnya Tono menyadari bahwa Yah
adalah kawan masa lalunya. Semenjak itu Yah sering kali mengajak Tono bertemu
di rumahnya, meskipun ia tau Tono telah beristri. Tono pun merasa selalu nyaman
di rumah Yah, karena Yah memperlakukan dirinya layaknya seorang istri kepada
suami, yang tak pernah ia dapatkan dari Tini, seperti seringkali Yah melepaskan
jas dokter Tono, melepaskan sepatunya, dan lain-lain. Kartono merasa
seolah-olah tercapai cita-citanya, merasa bahagia didalam hatinya karena
dipelihara demikian. Yang demikian sudah lama dinanti-nantinya (hlm. 33).
Seiring berjalan berjalannya waktu, Tini
mengetahui pertemuan yang sering dilakukan suaminya dengan Yah. Dia hendak
mengalahkan madunya. Memang Tini tidak senang mendengar kabar, tono bergaul
dengan perempuan lain. Didalam hatinya dia belum hendak mengaku, sebenarnya dia
cemburu, karena orang lain mendapat kasih sayang Tono (hlm. 129). Tini pun
mendatangi kediaman Yah. Di rumah Yah mereka berdebat dan saling merendahkan. Yah
tetap mempertahankan hak dan harga dirinya, sedangkan Tini tak rela harga
dirinya dijatuhkan karena perselingkuhan suaminya itu. Seperti yang dikatakan
Yah, “Katakanlah sebarang kata keadaan tiada juga akan berubah. Dia memang
suami nyonya, tapi kasihnya tersangkut pada saya. Nyonyanya boneka yang tiada
berjiwa, memakai permata, tapi tidak tahu menghargainya.” (hlm. 132). Mendengar
segala kritikan yang disampaikan Yah, perdebatan ini berakhir dengan saling
memafkan satu sama lain. Sesama wanita yang punya hati dan perasaan, Tini
menyadari bahwa dirinya memang tidak pernah berlaku baik terhadap Tono, dengan
tidak menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri. “...dan dalam hati aku
menyesal, mengingat perbuatanku dahulu, selalu karena... Aku memang tiada
pantas menjadi kekasihnya.” (hlm. 133). Yah juga memahami perasaan Tini, hingga
dia mau menuruti permintaan Tini untuk menjaga Tono dengan sebaik-baiknya,
meski akhirnya ia tidak dapat menepati janji itu.
Pada akhir cerita, Tini memutuskan untuk
bercerai dengan Tono. Kata Tini kepada Tono, “Dalam hatiku sudah putus, itulah
jalan yang sebaik-baiknya. Biasanya yang menanggung ialah pihak perempuan.
Sudah tetap keputusanku. Aku maklum risiconya, kau suka memikulnya. Engkau
laki-laki, tidak mengapa.” Esok harinya Tini pergi ke Surabaya. Sedangkan Yah
menyadari bahwa dirinya adalah salah seorang yang menjadi faktor perusak
hubungan rumah tangga Tini dan Tono, hingga akhirnya ia juga memutuskan untuk
meninggalkan Tono. Kata Yah kepada Tono, “Dari dulu sudah kutahu, kita akan
berpisah jua. Tidak akan tahan waktu, semuanya kan berpisahan jua.” (hlm. 145).
Karakter kuat inilah yang tergambar dari kedua tokoh wanita Tini dan Yah, dalam
mempertahankan emansipasinya sebagai wanita, yang berhak menentukan jalan hidupnya
sendiri dengan tegas, bijaksana, dan teguh pendirian.
Komentar
Posting Komentar